Politik Pemerintahan Negara Amerika Serikat

Amerika Serikat merupakan negara federal yang pada awalnya berdiri atas 13 negara bagian dan sekarang sudah beranggotakan 50 negara bagian dengan pola demokrasi konstitusional dengan sistem pemerintahan presidensial. Amerika Serikat didirikan oleh bangsa emigran dari Eropa yang menentang kekuasaan katolik Roma dan menginginkan kebebasan dari ikatan kekuasaan katolik Roma.

1. Sejarah Berdirinya Amerika Serikat

Amerika Serikat terbentuk pada tahun 4 Juli 1787 setelah  Perang Revolusi  dan terdiri dari 50 negara bagian dan sebuah distrik federal. Amerika Serikat merupakan sebuah negara Republik Federal yang menganut sistem pemerintahan Presidensiil dimana Presiden berperan sebagai badan esksekutif dan Kongres berperan sebagai badan legislatif. Sedangkan Majelis Tinggi ada di tangan Senat dan Majelis Rendah berada di tangan House of  Representative (Dewan Perwakilan Rakyat). Hal ini menyebabkan Amerika Serikat memiliki garis batas yang tegas antara Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif. Badan- badan  tersebut membatasi satu sama lainnya dengan asas Checks and Balances yang artinya saling mengawasi untuk menjaga keseimbangan sistem perpolitikan berjalan dengan seimbang. Kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden dan dilengkapi otoritas legislatif dalam konstitusi Amerika. Badan Yudikatif atau Mahkamah Agung  (Supreme Court) bebas dari pengaruh badan Legislatif dan Eksekutif dan bertugas menjamin tegaknya hukum serta menjamin kebebasan individu.

Amerika Serikat berdiri atas kesepakatan 13 negara koloni Britania Raya (kerajaan Inggris) yang merasa dirugikan oleh Inggris atas pemberlakuan pajak oleh Britania Raya sehingga mereka menyatakan “No Tax Without Representative”(Tidak ada pajak tanpa perwakilan).

Ketiga belas negara itu diantaranya adalah New Hampshire, Massachusetts, Rhode Island, Connecticut, New York, New Jersey, Pennsylvania, Delaware, Maryland, Virginia, Carolina Utara, Carolina Selatan, dan Georgia yang pada tahun 1781 bersepakat untuk bersatu sebagai negara otonom. Negara-negara tersebut bersatu untuk mempertahankan wilayahnya, saling bantu antar negara yang diatur di dalam dokumen Article of Confederation.
Terdapat empat ciri dalam dokumen Article of Confederation yakni antara lain sebagai berikut :

1.      State Sovereignity, bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas negaranya sendiri.
2.      Method of Operation, bahwa metode pemerintah konfederasi tidak langsung berhubungan dengan rakyat, melainkan melalui negara bagian.
3.      Inadequate govermental machinary, bahwa negara konfederasi dibatasi oleh dewan legislatif.
4.      Lack of Power bahwa Pemerintah dibawah perjanjian artikel tersebut merupakan suatu subjek yang kaku dalam pembatasan kekuasaan.

2.     Sejarah Perkembangan Pelembagaan Sistem Politik & Pemerintahan Amerika Serikat
Rural Republic
Masyarakat yang bersifat agraris. Ciri utama dari periode ini adalah mayoritas masyarakat AS masih pedesaan dan  pertanian  sangat dominan, peran, pemerintah kecil & terpusat pada pemerintah lokal, pemerintah federal hampir tidak memilikikekuasaan sama sekali. Demokrasi pada waktu itu masih dimonopoli oleh orang – orang yang memiliki kekayaan dibidang pertanian  (tuan tanah). Mereka yang tidak memiliki hak tanah maka tidak memiliki hak pilih & dipilih. Lalu terjadi kemajuan, dimana wanita pada 1920 memiliki hak pilih politik.

Keanekaragaman  Budaya & Pengaruh Politik

Aneka keanekaragaman budaya yang paling menonjol ialah berkenaan dengan identitas agama. Akan tetapi karena AS telah mengembangkan prinsip toleransi antar agama dan pemisahan negara dengan gereja, maka politik di AS dapat dibebaskan dari pengaruh dan pertentangan agama.
Perbedaan agama dan kebudayaan di AS dapat diatasi dengan penyatuan kepentingan dan ekonomi bersama daripada oleh kesamaan agama.
Jadi kepentingan politik yang berbasis pada kepentingan ekonomi merupakan kecenderungan yang dominan dalam  keanekaragaman politik AS.
Dalam proses politik masyarakat AS cenderung mengidentifikasi diri dalam kelompok- kelompok ekonomi ( buruh, petani, pengusaha, dll) terlepasdari keyakinan agama mereka.

                        Ras dan Pengaruh Politik di AS
Secara garis besar penggolongan ras yang memiliki pengaruh besar dalam proses pembentukan sistem politik AS adalah  antara warga kulit hitam dan kulit putih.  Walaupun sejak era Presiden Abraham Lincoln perbudakan terutama dari ras kulit hitam sudah dibebaskan, namun  hak- hak mereka baru benar- benar terpenuhi setelah  era Martin Luther King pada kisaran 1960 sampai 1970an.  Perjuangan emansipasi atas mereka sampai menimbulkan perpecahan antara wilayah AS bagian Utara dengan bagian Selatan setelah perang kemerdekaan, atau disebut Perang Saudara  pada periode awal terbentuknya Amerika Serikat (Civil War 1861-1865). Puncak perjuangan  emansipasi warga kulit hitam mendapat hak- hak politisnya , kesetaraan,  dengan warga kulit putih pada akhir 1970an dan menciptakan seorang  pria berkulit hitam pertama yang menjadi pemimpin negeri ini bernama Barrack Obama.

Konstitusi AS
Konstitusi AS merupakan alat utama dalam hukum pemerintahan tertinggi bangsa ini. Lebih dari 200 tahun sejak berdirinya negara ini konstitusi telah memberi arah  untuk pemerintahan bangsa ini. Konstitusi AS merupakan konstitusi yang bertahan paling lama di dunia dengan ketahanan dan tingkat fleksibilitas atas kemajuan  jaman. Berawal dari kerangka dasar yang difungsikan sebagai pengatur 4 juta penduduk di 13 negara bagian pada awal kemerdekaan dengan 26 amandemen dan saat ini melayani dan mengatur 240 juta penduduk di 50 negara bagian.
Konstitusi AS telah menunjukkan peran dengan mengatur proses politik yang mampu menjamin stabilitas politik dan menjamin berkembangnya demokrasi (yang memungkinkan partisipasi yang luas dan bermakna dari penduduk dalam  menentukan kebijaksanaan umum).
Sebelum diberlakukannya konstitusi AS (1789) telah berlaku UU Konfederasi oleh 13 negara bagian yang baru  merdeka (Juli 1788). Artikel Konfederasi mencanangkan sebuah persekutuan yang longgar antar negara dan memberikan serta mengatur kekuasaan yang sangat terbatas pada pemerintahan Federasi dalam persoalan- persoalan pokok seperti pertahanan dan perdagangan. Pemerintah Federal sangat tergantung pada legislator negara- negara bagian. Dalam waktu tidak lama, UU Federasi tersebut menimbulkan kestabilan dan chaos.
Dalam kondisi demikian, kongres kontinental sebuah badan legislatif Republik memanggil wakil- wakil negara bagian ke Philadelphia guna merevisi Article Confederation. Para delegasi akhirnya mendorong terbentuknya sebuah konstitusi baru. Dokumen konstitusi baru tersebut resmi disempurnakan pada 17 September 1789. Para delegasi di Philadelphia tersebut berjumlah 55 negara, delapan diantaranya merupakan anggota


3. Nilai-nilai yang dijunjung di Amerika Serikat

a. Nilai Individualisme
bahwa masyarakat itu dibentuk oleh individu dan oleh karenanya masyarakat memberikan hak untuk individu dalam meningkatkan kualitas dirinya sendiri.

b. Nilai Persamaan
bahwa masyarakat harus menyediakan kepada individu dengan porsi sama tanpa memandang primordial mereka masing-masing serta latar belakangnya dalam mencapai keinginannya meskipun hasil akhirnya tak sama.

c. Nilai Demokrasi
bahwa segala proses pemerintah yang menghasilkan output politik harus disetujui oleh yang diperintah dan pemerintahan diletakkan pada hukum mayoritas.

4. Ideologi Amerika Serikat

Suatu ideologi yang dipakai di Amerika Serikat adalah Democratic Capitalism yang berakar dari Liberal Classic. Democratic Capitalism disini merupakan sistem dalam pemerintahan yang mengutamakan hak-hak individual terutama HAM sebagai basis dari penyelenggaraan politik pemerintahan Amerika Serikat. Kaum kapital di Amerika Serikat mempunyai misi untuk mengabdi pada proses demokrasi tersebut.

Nilai- nilai yang memaksa Bangsa Amerika Serikat untuk merealisasikan dalam kehidupan bersama secara sederhana diistilahkan dengan kapitalisme demokrasi. Secara sederhana ideologi ini mengandung pengertian bahwa kapitalisme bangsa AS memiliki misi untuk mengabdi pada nilai- nilai demokrasi. Dan konon yang membedakan kapitalisme AS dengan kapitalisme lain adalah pengabdiannya pada demokrasi tersebut.

5. Politik Pemerintahan Amerika Serikat


Amerika Serikat merupakan negara federal dengan sistem presidensial dan pola pemerintahan demokrasi konstitusional. Demokrasi USA merupakan demokrasi yang stabil (lebih baik ) dari beberapa negara di dunia, namun belum lebih baik dari beberapa negara, serta belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Pemerintahan federal merupakan persekutuan dimana negara pusat dan negara bagian berbagi kekuasaan dan setiap negara berhak mengatur sendiri pemerintahan negaranya. Terdapat tiga cabang kekuasaan yang otonom dan independen yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif.


Di dalam legislatif terdapat dua badan yang sederajat yaitu:

·         Senat
Merupakan wakil dari negara bagian yang dipilih oleh negara bagian dengan masa  jabatan selama 6 tahun.

·         House of representative (DPR)
House of representative ini dipilih langsung oleh rakyat sejak konstitusi 1787 dengan masa jabatan 2 tahun.

Kedua badan tersebut berkumpul dalam kongres dalam proses politik pemerintahan untuk menghasilkan sebuah keputusan yang setiap keputusan tidak boleh lose dari suara mayoritas senat dan DPR. Perhitunfan mayoritasnya adalah 50% + 1 (2/3 dari kongres).
Kekuasaan eksekutif.

Presiden mempunyai hak otonom yang kuat sama seperti legislatif dalam proses pembuatan keputusan yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam hal ini, tidak ada hasil keputusan tanpa melibatkan setiap cabang yang lain yakni dari pemerintahan pusat dan pemerintahan negara bagian sehingga hasilnya melahirkan keputusan politik yang berkualitas meski dalam pelaksanaannya memakan biaya yang sangat tinggi.

Konsep federalis mengharuskan konstitusi dalam melindungi hak-hak negara bagian yakni diantaranya:

1.      Pemerintahan negara bagian berhak menetukan anggaran sendiri dan hukum sendiri.
2.      Negara bagian terlindungi atas kesewenang-wenangan pemerintah negara pusat.
3.      Konstitusi menetapkan dewan pemilih presiden adalah delegasi dari negara bagian.
4.      Konstitusi USA menetapkan amandemen konstitusi dapat disahkan dengan dukungan ¾ dari semua legislatif negara bagian serta 2/3 kongres Amerika Serikat.
READMORE
 

Konsumerisme, Budaya atau Gejala?

Oleh: Guntur Rahmatullah*

Terdapat beberapa karakteristik masyarakat modern dalam globalisasi yang kemudian dianggap sebagai trend umum. Salah satu karakteristik itu adalah kebutuhan akan konsumsi sebagai upaya pemenuhan kebutuhan manusia. Namun terdapat suatu perbedaan akibat perubahan dan perkembangan secara radikal secara global sehingga mencapai bentuk yang jauh berbeda dari bentuk awalnya. Bahkan dalam dunia global ini pola konsumsi sudah menjadi sebuah trend dan “madzhab“ yang akrab didengar dengan sebutan Konsumerisme.
            Singkat kata, konsumerisme adalah suatu pola pikir  serta tindakan dimana orang melakukan  tindakan membeli barang bukan dikarenakan ia membutuhkan barang itu tetapi dikarenakan tindakan membeli itu sendiri memberikan kepuasan kepada dirinya sendiri. Menurut Yasraf Amir Piliang, fenomena yang menonjol dalam masyarakat Indonesia saat ini, yang menyertai kemajuan ekonomi adalah berkembangnya budaya konsumsi yang ditandai dengan berkembangnya gaya hidup. Berbagai gaya hidup yang terlahir dari kegiatan konsumsi semakin beragam pada masyarakat perkotaan Indonesia, terutama Jakarta. Kalau dulu ada istilah yang populer yakni ”Cogito Ergosum: Aku berpikir maka aku ada”, tetapi sekarang istilah yang populer adalah: ”I shop therefore I am: Aku berbelanja maka aku ada”
Konsumerisme di Indonesia ini telah banyak melanda semua level dalam masyarakat. Sebagai contoh adalah apabila suatu barang yang lagi up to date maka orang akan membeli tanpa peduli apakah ia membutuhkan atau tidak, contoh lainnya adalah kegiatan nge-mall, clubbing, fitness, nge-wine, hang out di cafe adalah contoh gaya hidup yang nampak menonjol saat ini. Semua aktifitas tersebut adalah perwujudan dari hingar bingar konsumsi.

KONSUMSI
Ada beberapa konseptualisasi dalam istilah konsumsi. Konsumsi, menurut Yasraf, dapat dimaknai sebagai sebuah proses objektifikasi, yaitu proses eksternalisasi atau internalisasi diri lewat objek-objek sebagai medianya.[1] Maksudnya, bagaimana kita memahami dan mengkonseptualisasikan diri maupun realitas di sekitar kita melalui objek-objek material. Disini terjadi proses menciptakan nilai-nilai melalui objek-objek dan kemudian memberikan pengakuan serta penginternalisasian nilai-nilai tersebut.
Definisi tersebut memberi frame bagi kita dalam memahami alasan mengapa orang terus menerus berkonsumsi. Objek-objek konsumsi telah menjadi bagian yang internal pada kedirian seseorang. Sehingga sangat berpengaruh dalam pembentukan dan pemahaman konsep diri. Sebagai ilutrasi misalnya, banyak remaja yang merasa dirinya bisa benar-benar menjadi remaja ‘gaul’ jika mereka mengenakan jeans dan model kaos atau baju yang sedang menjadi trend saat itu. Pakaian yang merupakan objek konsumsi, menjadi penanda identitas mereka dibanding karakter psikis, emosional ataupun penanda fisik pada tubuh mereka.
Tanda-tanda pada objek konsumsi pada kenyataannya justru cenderung digunakan untuk menandai relasi-relasi sosial. Saat ini objek konsumsi mampu menentukan prestise, status dan simbol-simbol sosial tertentu bagi pemakainya. Objek juga mampu membentuk perbedaan-perbedaan sosial dan menaturalisasikannya melalui perbedaan-perbedaan pada tingkat pertandaan. Itulah mengapa orang cenderung menilai dan mengenali orang dari penempilan luarnya, apa yang dikenakannya, asseorisnya mulai dari tas, sepatu, kacamata, dsb., bermerek apa, dan seterusnya. Barang-barang bermerek menunjukkan nilai sosial yang tinggi. Pada barang-barang tersebut tertempel nilai eksklusifitas.
Memang kenyataan bahwa konsumsi sebagai satu sistem diferensiasi, sistem pembentukan perbedaan-perbedaan status, simbol dan prestise sosial telah menandai pola sosial masyarakat konsumer. Dalam masyarakat konsumerisme, masyarakat hidup di suatu bentuk relasi subjek-objek yang baru, yaitu relasi konsumerisme. Dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi dipandang sebagai ekspresi diri atau eksternalisasi para konsumer (bukan melalui kegiatan penciptaan), dan sekaligus sebagai internalisasi nilai-nilai sosial budaya yang terkandung didalamnya. Tidak heran jika saat ini banyak sekali kelompok-kelompok sosial yang terbentuk berdasarkan konsumsi terhadap produk tertentu. Misalnya kelompok arisan ”Luis Vuitton”, Grup Motor ”Harley Davidson”, dan sebagainya. Komunitas tersebut terbentuk sebagai upaya pembentukan differensiasi dan prestise. Komunitas semacam itu menyetarakan eksklusifitas mereka dengan merek-merek tersebut.
Bentuk-bentuk fanatisme seperti itu pada kenyataannya tidak hanya terjadi pada konsumsi objek-objek yang bernilai ekslusif. Karena tren yang belakangan ini sedang digalakkan oleh para produsen adalah membangun fanatisme konsumen melalui inklusi konsumen dalam komunitas tertentu. Sebagai contoh, setiap grup musik yang populer saat ini pasti memiliki fans club-nya masing-masing. Tidak hanya itu, hampir setiap produk konsumsi yang dipasarkan sekarang juga memiliki komunitas tersendiri, misalnya komunitas Yamaha, komunitas Esia, dst. Dalam komunitas tersebut, sense of belonging terhadap produk yang mereka konsumsi terus ditingkatkan sehingga fanatisme orang terhadap produk yang mereka konsumsi terus bertahan atau bahakan bertambah. Sebagai konsekuensinya, anggota komunitas-komunitas itu akan terus mengkonsumsi produk tersebut secara sukarela sebagai wujud loyalitas terhadap komunitasnya.
Adalah suatu hal wajar sekarang mendengar orang-orang berterbangan kesana-kemari, berpindah tempat dari satu benua ke benua yang lainnya hanya untuk berbelanja atau shopping. Adalah hal yang wajar pula menyaksikan artis pergi ke luar negeri sekedar untuk membeli baju atau tas. Wajar juga buat kita, dan bahkan kita menyambutnya dengan suka ria ketika supermarket dunia seperti Carrefour, Giant atau Hypermart membuka cabangnya di daerah dekat tinggal kita. 
Bahkan, kita seringkali merasa penting untuk mengetahui mengikuti dengan seksama melalui media berbagai pertemuan perdagangan tingkat dunia yang silih berganti dilaksanakan, mencari tahu kebijakan-kebijakan perekonomian global, dan seterusnya. Hal tersebut seolah-olah menjadi sangat penting karena berpengaruh atau bahkan menentukan masa depan kita. Rasionalitas kita menerima semua hal tadi sebagai sesuatu yang wajar dan lazim saja.
Kita menginternalisasi kegiatan konsumsi dan kemudian mengubah pengalaman ini ke dalam semua aktifitas manusia lainnya dan ke dalam aspek-aspek eksistensi sosial kita. Itu membuktikan bahwa konsumsi telah terkonstruksi dalam rasionalitas kita, dan pasti dalam rasionalitas masyarakat global dunia sehingga konseptualisasi kita mengenai diri dan dunia dipengaruhi atau dibentuk oleh konsumsi.

Konsumerisme
Peter N. Stearns[2] mengungkapkan bahwa kita hidup dalam dunia yang sangat diwarnai konsumerisme. Istilah konsumerisme, menurut Stearns :
..... consumerism is best defined by seeing how it emerged.but obviously we need some preliminary sense of what we are talking about. Consumerism describes a society in which many people formulate their goals in life partly through acquiring goods that they clearly do not need for subsistence or for traditional display. They become enmeshed in the process of acquisition shopping and take some of their identity from a posessionof new things that they buy and exhibit. In this society , a host of institutions both encourage and serve consumerism.. from eager shopkeepers trying to lure customers into buying more than they need to produce designer employed toput new twists on established models, to advertisers seeking ti create new needs..”
        Konsumerisme, pada masa sekarang telah menjadi ideologi baru. Ideologi tersebut secara aktif memberi makna tentang hidup melalui mengkonsumsi material. Bahkan ideologi tersebut mendasari rasionalitas masyarakat kita sekarang, sehingga segala sesuatu yang dipikirkan atau dilakukan diukur dengan perhitungan material. Ideologi tersebut jugalah yang membuat orang tiada lelah bekerja keras mangumpulkan modal untuk bisa melakukan konsumsi.
       Ideologi konsumerisme, pada realitasnya sekarang telah menyusupi hampir pada segala aspek kehidupan masyarakat, mulai dari aspek politik sampai ke sosial budaya. Menurut Trevor Norris[3], konsumerisme terkenal bersifat korosif dalam kehidupan politik. Konsumerisme dalam hal ini dipandang sebagai suatu proses dehumanisasi dan depolitisasi manusia karena para warga negara yang aktif dan kritis telah banyak yang berubah menjadi konsumen yang sangat sibuk dan kritikus atau peneliti pasif.
Baudrillard sejak lebih dari dekade lalu telah menyadari fenomena konsumsi tersebut dalam masyarakat sehingga kemudian menyatakan,
”..with the advent of consumer society,we are seemingly faced for the first time in history by an irreversible organized attempt to swamp society with objects and integrate it into an indispensable system designed to replace all open interaction between natural forces,needs and techniques”




Asal Mula Konsumerisme
Beberapa disiplin ilmu telah menganalisa konsumerisme dan masyarakat konsumen. Topik ini bahkan menjadifokus perhatian dalam studi sosiaologi sejak tahun 1980an. Terdapat perdebatan yang luas menyangkut munculnya masyarakat konsumen.
Beberapa ilmuwan menyebut beberapa poin tertentu yang berkaitan dengan munculnya kapitalisme modern seiring dengan revolusi industri. Asal mula konsumerisme dikaitkan dengan proses industrialisasi pada awal abad ke-19. Karl Marx menganalisa buruh dan kondisi-kondisi material dari proses produksi. Menurutnya, kesadaran manusia ditentukan oleh kepemilikan alat-alat produksi. Prioritas ditentukan oleh produksi sehingga aspek lain dalam hubungan antar manusia dengan kesadaran, kebudayaan dan politik dikatakan dikonstruksikan oleh relasi ekonomi.
Kapitalisme yang dikemukakan Marx adalah suatu cara produksi yang dipremiskan oleh kepemilikan  pribadi sarana produksi. Kapitalisme bertujuan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dan dia melakukannya dengan mengisap nilai surplus dari pekerja. Tujuan kapitalisme adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya, terutama dengan mengeksploitasi pekerja. Realisasi nilai surplus dalam bentuk uang diperoleh dengan menjual produk sebagai komoditas.
Komoditas adalah sesuatu yang tersedia untuk dijual di pasar. Sedangkan komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, diamana objek, kualitas dan tanda berubah menjadi komoditas.
Kapitalisme adalah suatu sistem dinamis dimana mekanisme yang didorong oleh laba mengarah pada revolusi yang terus berlanjut atas sarana produksi dan pembentukan pasar baru. Ada indikasi ekspansi besar-besaran dalam kapasitas produksi kaum kapitalis. Pembagian kelas yang mendasar dalam kapitalisme adalah antara mereka yang menguasai sarana produksi, yaitu kelas borjuis, dengan mereka yang karena menjadi kleas proletar tanpa menguasai hak milik, harus menjual tenaga untuk bertahan hidup. [4]

Horkheimer dan Adorno[5] mengemukakan bahwa logika komoditas dan perwujudan rasionalitas instrumental dalam lingkup produksi tampak nyata dalam lingkup konsumsi. Pencarian waktu bersenang-senang, seni dan budaya tersalur melalui industri budaya. Resepsi tentang realitas diarahkan oleh nilai tukar (exchange value) karena nilai budaya yang mengalahkan logika proses produksi dan rasionalitas pasar. Selain itu juga terjadi standarisasi produk-produk budaya untuk memaksimalkan konsumsi.
Dalam pemikiran Baudrillard, yaitu bahwa konsumsi membutuhkan manipulasi simbol-simbol secara aktif. Bahkan menurut Baudrillard, yang dikonsumsi bukan lagi use atau exchange value, melainkan “symbolic value”, maksudnya orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan karena kegunaan atau nilai tukarnya, melainkan karena nilai simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi.
Konsumsi pada era ini diangap sebagai suatu respon terhadap dorongan homogenisasi dari mekanisasi dan tehnologi. Orang-orang mulai menjadikan konsumsi sebagai upaya ekspresi diri yang penting, bahasa umum yang kita guinakan untuk mengkomunikasikan dan menginterpretasi tanda-tanda budaya.
Ilmuwan yang lain berargumen bahwa konsumersime merupakan fenomena abad 20 yang dihubungkan dengan munculnya komunikasi massa, bertumbuhnya kesejahteraan dan semakin banyaknya perusahaan modern. Konsumerisme menjadi sarana utama pengekspresian diri, partisipasi dan kepemilikan pada suatu masa dimana institusi komunal tradisional, seperti keluarga, agama dan negara telah terkikis.
Konsumerisme juga terjadi seiring dengan meningkatnya ketertarikan masyarakat terhadap perubahan dan inovasi, sebagai respon terhadap pengulangan yang sangat cepat dari hal-hal yang lama atau pencarian terhadaphal yang baru: produk baru, pengalaman baru dan citra baru. 
Apa yang penting dari analisa ini adalah adanya perubahan bertahap pada abad ke 20 dari sentralitas produksi barang-barang menjadi kepentingan politis dan budaya dari produksi kebutuhan.
Pandangan Baudrillard memberikan analisis yang original tentang masyarakat konsumen, dan juga dapat menjelaskan bagaimana struktur komunikasi dan sistem tanda mampu mempertahankan eksistensi masyarakat  konsumen tersebut.
Analisa Baudrillard tentang masyarakat konsumsi disarikan melalui analisa dari disiplin semiotika, psikoanalisa dan ekonomi politik dalam produksi tanda. Menurut Baudrillard, sistem komunikasi berperan sangat penting dalam masyarakat konsumen, terutama menyangkut produksi tanda.
Douglas Kellner menjelaskan, bahwa menurut Baudrillard, Modernisme berkaitan dengan proses produksi objek, sedangkan posmodernisme concern terhadap simulasi dan produksi tanda.
”Modernity thus centered on the production of things—commodities and products, while postmodernity is characterized by radical semiurgy, by a proliferation of signs
Sependapat dengan para pemikir posmodernisme perancis lainnya, Baudrilard  juga mengemukakan kritik terhadap teori Marx. Kritisme paling utama dari Baudrillar terhadap teori Marx mungkin berkenan dengan perubahan dari produksi objek menjadi produksi tanda, dari alat-alat produksi menjadi lat-alat konsumsi atau “the simultaneous production of the commodity as sign and the sign as commoditty”
Dominasi tidak lagi terjadi dalam bentuk kontrol terhadap alat-alat produksi ,namun dominasi lebih banyak terjadi pada alat-alat konsumsi. Terlebih lagi, dominasi tersebut terjadi pada tingkatan model signifikansi (dulunya model produksi) dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan, menurut Baudrillard, masyartakat konsumen tidak lagi digerakkan oleh kebutuhan dan tuntutan konsumen, melainkan oleh kapasitas produksi yang sangat besar. Sehingga maslah-masalah yang timbul dalam sistem masyarakat konsumen tersebut tidak lagi berkaitan dengan produksi melainkan dengan kontradiksi antara level produktifitas yang lebih tinggi dengan kebutuhan untuk mengatur—baca: mendistribusikan—produk. Oleh karena itu, kunci vital dalamsistem sekarang adalah mengontrol mekanisme produksi sekaligus permintaan konsumen sebagai bagian dari sosialisasi yang terencanamelaluikode-kode
In planned cycle of costumer demand, the new strategic forces, the new structural elements—needs, knowledge, culture, information, sexuality—have all their explosive force defused. In opposition to the competitive system, the monopolistic system institutes consumption as control, as the abolition of the contingency of demand, as planed socialization by code..
Needs lose their autonomy; they are coded. Consumptionno longer has a value of enjoyment; it is placed under the constraint of theabsolutefinality which is that of production.
Production, on the contrary, is no lonegr assigned any finality other than itself. This total reduction of the process to a signle one of it terms.. designates more than an evolution of the capitalist mode: it is a mutation.
Bagi Baudrillard, yang menandai transisi konsumsi tradisional menjadi konsumerisme adalah pengorganisasian konsumsi ke dalam suatu sistem tanda.

Traditional symbolic goods (tools, furniture, the house itself) were the mediatorsof the real relationshipor a directly experienced situation, and their subject and form bore the clear imprint of theconscious or unconscious dynamic of that relationship. They thus were not arbitrary.
.. from the time immemorial people have bought, possesed, enjoyed and spent, but his does not mean that they were consuming. … It is… the organizationof all these things into a signifying fabric : consumption is the virtual totality of allobjects and messages ready constitued as a more or less coherent discourse.. ..to become an object of consumption an object must be a sign.
That is to say: it must become external,in a sense, object to the systematic statusof asign implies the simultaneous transformation of the human relationship of consumption….all desires, projects, and demands, all passions and relationships, are now abstracted (or naterialized) as signs and as objects to be bought and consumed.

Masyarakat sekarang semakin tidak mengidentifikasi diri mereka mengikuti pola-pola pengelompokan tradisional, namun cenderung mengikuti produk-produk konsumsi, pesan dan makna yang tersampaikan. Oleh karena itu, konsumsi dilihat sebagai upaya pernyataan diri, suatu cara untuk bertindak dalam dunia ini, cara pengekspresian identitas seseorang. Konsumsi didorong oleh hasrat untuk menjadi sama dan sekaligus berbeda, menjadi serupa dengan.. dan berbeda dari.

Konsumerisme Sebagai Suatu Trend
            Seringkali bangsa ini mengklaim diri sendiri sebagai bangsa yang berbudaya, otomatis kita pun harus mempunyai sikap budaya. Sedangkan sikap budaya itu sendiri terdiri dari tiga pokok berupa sistem gagasan, sistem perilaku yang dikondisikan oleh gagasan, serta sistem yang secara lahiriah dihasilkan dari perpaduan kedua sistem itu. Kenyataan-kenyataan yang ada secara lahiriah menciptakan keadaan-keadaan yang mempengaruhi sifat dan ide atau gagasan manusia yang kemudian membentuk sistem perilaku manusia itu.
            Dengan kata lain, perilaku manusia dipengaruhi oleh perilaku manusia itu sendiri yang dilakukan berulang-ulang. Maka dapat disimpulkan, kebudayaan adalah suatu jentera  yang berputar terus-menerus yang menggabungkan tiga pokok yaitu kenyataan lahiriah, ide dan perilaku manusia. Dalam pengertian demikian itu, sistem gagasan bukanlah pangkal tolak dari kebudayaan, tetapi lebih kepada kenyataan lahiriah dimana perilaku kita dalam keseharian adalah cerminan budaya kita sendiri. Apabila kebiasaan-kebiasaan itu kita lakukan semisal cara makan, berpakaian, dan lain-lain adalah kenyataan lahiriah maka dapat dikatakan contoh tersebut adalah bagian dari kebudayaan.
            Apabila kita kembalikan pada persoalan gaya hidup yang konsumtif, adalah suatu trend  yang   dibudayakan atau disebarluaskan (lebih tepatnya dipropagandakan). Bukannya suatu sistem gagasan, perilaku dan kenyataan masyarakat yang sangat heterogen namun suatu infasi kebudayaan asing yang  “dipaksakan” menjadi suatu budaya homogen. Kondisi ini menurut Slavoj Zizek akan membentuk pola pikir libidius dalam hal material, akibatnya kita hidup dalam “budaya seolah-olah” dalam artian kita selalu mendapatkan lebih dari segala yang kita bayarkan tapi kita bingung untuk keperluan apa itu sebenarnya.[6] Dengan demikian manusia konsumerisme hidup dalam kebebasan yang nihilistik dimana kebebasan subjek dalam memilih sudah terpropaganda oleh gaya hidup yang konsumtif. Manusia menggunakan kebebasan memilihnya bukan lagi karena kemauan lahiriahnya akan kebutuhan barang tersebut, melainkan untuk kebutuhan yang sebenarnya tidak dibutuhkan (tidak didasarkan pada pertimbangan nilai guna) akibat konsumerisme.
            Betapa ini telah menjadi sebuah budaya baru yang kehadirannya tanpa disadari oleh semua orang tetapi dampaknya begitu besar. Kita dapat melihat bagaimana peran media massa dalam mempropaganda dengan sangat massif produk-produk impor. Sehingga membentuk pola kehidupan masyarakat luas dan mengarah menjadi “masyarakat konsumtif”.
              Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang diuntungkan dalam kondisi seperti ini? Adalah para penguasa ekonomi dan politik melalui kepentingan pelipatgandaan modal yang merugikan masyarakat luas. Akibatnya pembangunan pun terhambat akibat kepentingan segelintir kaum kapital itu dalam memperbesar modalnya serta propaganda dalam masyarakat mengenai konsumerisme itu memperlambat laju semangat dalam mendirikan usaha untuk menjadi produsen demi mewujudkan masyarakat yang mandiri.
            Perilaku para pemimpin global ini secara ringkas bisa dilihat dari beberapa amatan, pertama; terus meningkatnya kekuasaan pasar dan semakin merosotnya kekuasaan peran negara. Negara dan bisnis memang berurusan dengan publik tetapi perbedaannya terletak pada pertanggung jawabannya dimana negara langsung kepada rakyat, sedangkan bisnis kepada pribadi. Kedua; seiring dengan lembaga negara yang berubah menjadi pasar, sifat warga negara berubah dari satuan komunitas masyarakat menjadi komunitas konsumen. Misalnya komunitas penggemar motor Harley Davidson, dll. Ketiga; salah satu cirri bisnis global adalah arus modal yang terus berpindah melintasi batas-batas negara. Yang berkembang kemudian adalah pasar-pasar modal, sistem ekonomi uang dan pertukaran abstrak yang merontokkan kegiatan-kegiatan ekonomi padat kerja, contohnya pedagang kaki lima. Keempat; para pemain utama dalam corak perekonomian demikian itu tentu saja adalah para pemodal besar, bekan para petani di desa-desa atau kaum buruh industry. Kenyataan ini bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi dan menghambat pemerataan kemakmuran.
            Kelima; dampak bisnis global adalah konsumtifisme global. Gaya hidup yang digembar-gemborkan melalui media massa dengan cara memanipulasi hasrat individu terhadap prestise, status dan sensualitas. Karena hasrat tidak memiliki batas, maka konsumsi yang didasarkan pada hasrat juga berkembang tanpa batas, meniggalkan pola konsumsi berdasarkan pertimbangan nilai guna. Keenam; bersama segala perkembangan demikian itu, berlangsunglah proses ekonomisasi kebudayaan dimana seluruh gerak dan perubahan kebudayaan berlangsung berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi yang hanya mengejar laba.

Konsumerisme Sebagai Sebuah Gejala
            Sulit dipungkiri bahwa dari hari ke hari semakin sempit ruang dan kesadaran kita yang tidak bisa dijangkau oleh media dan  budaya massa. Kita bisa menjadi mahasiswa radikal, dosen yang kritis, petani, buruh atau apa saja tapi kita tidak bisa hidup dalam ruang yang sepenuhnya bebas dari infiltrasi media dan budaya massa.
Selama kita masih membaca surat kabar, majalah, selebaran, nonton TV, mendengarkan radio, menjelajah situs internet, selama itu juga anda berinteraksi dengan media. Dan secara tak langsung pemikiran, tingkah laku atau gaya hidup terbentuk oleh media tadi. Ketika kita suka nonton TVc mengenai berita tentang program ilmu pengetahuan, bencana alam tetapi di sela-sela berita tadi pasti kita melihat iklan perusahaan transnasional mengenai fashion, elektronik, fastfood yang tak mungkin bisa dihindari. Itu artinya   manusia di bumi ini mustahil menepiskan subversi budaya massa yang membanjiri setiap detik dari seluruh dunia.
Timbulnya konsumerisme sangat erat berhubungan dengan maraknya budaya massa. Sedangkan praktek-praktek budaya massa ditimbulkan oleh adanya arus globalisasi. Disini masyarakat yang mempunyai cirri khas budaya masing-masing (heterogen) menjadi disamakan dalam segala hal. Ketika masyarakat disamakan dalam setiap segi kehidupan terutama dalam rasa (taste) semisal seorang akan dikatakan cantik apabila bertubuh ramping sehingga yang bertubuh gemuk tidak termasuk dalam kategori cantik.
Dampak yang sangat dirasakan adalah hilangnya daya atau kemampuan cipta, rasa dan karsa  masyarakat suatu bangsa. Pertama, daya kreatif atau daya cipta yang menjadi tak berarti karena setiap hari kita disuguhi produk-produk siap pakai. Kedua, rasa. Ketika kita disamakan dalam segala hal maka apabila kita mencoba keluar dari rasa tadi akibatnya kita dianggap tidak layak lagi. Ketiga,  karsa. Kemampuan yang merupakan bagian penting dalam diri manusia menjadi tak berguna karena digantikan oleh kekuatan hegemoni global.
Bagi negeri yang sedang berkembang seperti Indonesia ini yang masih disibukkan oleh masalah pelik seperti kekurangan pangan, bencana alam, pendidikan rendah, serta yang tak kalah populernya yakni masalah korupsi yang sampai saat ini masih banyak di Indonesia, jelas saja masalah seperti budaya massa ini sangat tidak tersentuh. Yang terjadi adalah hilangnya kebudayaan nasional yang tergantikan oleh budaya impor yang masuk  lewat media massa yang membawa kepentingan para pemodal di balik itu semua. Memang sangat ironi tapi kenyataan itu memang telah menggejala pada kalangan masyarakat belakangan ini.

            Kesimpulan secara umum adalah kegiatan konsumerisme ini tidak lagi didasarkan pada apa nilai guna dari barang itu bagi kita atau exchange value, tetapi telah berubah menjadi symbolic value atau nilai-nilai simbolik yang tercipta dalam dunia sosial dibalik barang yang dibeli. Hasilnya masyarakat konsumerisme terkonstruksi melalui propaganda iklan mengenai suatu barang sehingga masyarakat tidak lagi merdeka dalam pikirannya diri sendiri. Jika pemikiran yang terkonstruksi maka berapa pun harganya akan dibayar tanpa memperdulikan nilai gunanya.  
Oleh karena pemikirannya yang telah diisi oleh konsumerisme, maka hal yang paling berdampak adalah struggle for shopping atau melakukan segala upaya semisal bekerja keras untuk satu tujuan yakni kegiatan konsumsi yang hakikatnya hanya untuk kepuasan, bukan untuk pemenuhan kebutuhan yang sebenarnya. Dan kemudian masyarakat hanya berkeinginan menjadi konsumen saja, tidak ada keinginan untuk mandiri dengan mendirikan usaha sendiri atau menjadi produsen juga. Akhirnya pembangunan suatu negara pun menurun akibat perilaku masyarakat yang seperti ini.


* Adalah mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Jember
   NIM 100910101074
[1] Amir Piliang, Yasraf. Dunia yang Dilipat.180
[2] Peter N. Stearns. Consumerism in World History : the global Transformation of Desire. 2003. New York: Routledge Hal: ix
[4] Baudrillard, Jean P.. Consumer Society. (edisi terjemahan Indonesia). 2004. Yogayakarta: Kreasi Wacana.hal 14
[5] Introduction to critical theory
[6] Robet,. Robertus, Manusia Politik: Subjek Radikal dan Politik Emansipas,. Tangerang: Margin Kiri, 2010. Hal 35



DAFTAR PUSTAKA

Amir Piliang, Yasraf. Dia yang dilipat : Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. 2004.
 Bandung ; Jalasutra

Stearns, Peter N. Consumerism in World History: The Global Transformation of Desire.
2003. New York; Routledge

Baudrillard, Jean P. diterjemahkan oleh Wahyunto. Masyarakat Konsumsi. 2004. Yogyakarta:
Kreasi Wacana

Feathersone, Mike. Consumer Culture and Posmodernism. 1992.  London : Sage Publications

Robet,. Robertus, Manusia Politik: Subjek Radikal dan Politik Emansipasi. 2010. Tangerang: Margin Kiri

http://www.ubishops.ca/baudrillardstudies/vol2_2/norris.htm


READMORE
 

Konspirasi USA Mengenai WTC


Rumusan Masalah : Siapa  pelaku dibalik tragedi 9/11?

WTC atau World Trade Center adalah suatu kompleks yang terdiri dari tujuh bangunan sebagai pusat distrik finansial New York City[1]. Peristiwa 11 september 2001 itu  yang mengagetkan Amerika dengan adanya penyerangan terhadap gedung WTC secara brutal. Dari peristiwa tersebut terdapat beberapa alibi mengenai otak atau dalang penyebab kejadian tersebut. Beberapa alibi yang muncul kepermukaan yaitu adanya keterlibatan Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden dari Afghanistan ini dilatar belakangi agar  usaha Amerika dalam meraih dukungan rakyat dunia kepada militer Amerika untuk melegitimasi serangan militer AS dalam mendapatkan minyak di Timur Tengah yang kaya akan sumber minyak dan hal ini pun ditunjang dengan adanya pidato dari presiden AS yakni George W. Bush.
Jika ditinjau dari fakta-fakta yang ada, terdapat ganjalan-ganjalan yang tidak cocok jika di masukkan pada alibi yang menuduh bahwa AL-Qaeda lah pelakunya. Salah satunya adalah bahwa dari 6.638 korban yang hilang dan tewas tak satu pun terdapat diantara korban tersebut adalah warga berkebangsaan Israel. Padahal mayoritas pekerja di gedung WTC ini adalah warga Israel. Itu menguatkan kabar bahwa ada 4.000 pekerja Israel yang meliburkan diri pada hari naas tersebut, karena telah mendapatkan kabar dari intel Israel akan terjadi serangan tersebut[2]. Mengingat bahwa Israel memiliki hubungan yang sangat erat dengan amerika atau bisa disebut termasuk dalam kelompok kepentingan Amerika Serikat sehingga diindikasikan bahwa pelaku utama dari tragedi naas ini adalah Amerika sendiri. Berikut adalah beberapa asumsi-asumsi yang menguatkan fakta tersebut, antara lain :

1. AS Sudah Mengetahui Akan Diserang

Presiden AS saat itu, George W Bush mengatakan bahwa tidak ada seseorang pun di pemerintahannya yang membayangkan negara superpower itu bakal diserang lewat pesawat yang menubruk gedung pencakar langit. Namun beberapa pekan sebelumnya, ketika Bush dan sejumlah pemimpin G8 di Genoa, Italia, sudah memperhitungkan skenario tersebut. Mereka menempatkan misil antipesawat di dekat tempat pertemuan. Sebelumnya, Italia mendapat ancaman akan diserang lewat pesawat.

2. WTC Runtuh Karena Bahan Peledak

Sejumlah fisikawan maupun penggemar teori konspirasi dan pakar teknik sipil percaya gedung WTC diledakkan dari dalam. Bukan karena semata ditubruk pesawat. Ini berasal dari teknik bangunan WTC yang tertanam kokoh tapi hancur hingga ke dasar. Menurut mereka, ada sejumlah besar bahan peledak disimpan di WTC di tempat-tempat strategis.

3. Pialang Saham Berperan

Sebelum 9/11 memang ada aksi pasar saham yang memberi dampak cukup luas. Misal: saham United Airlines dan American Airlines yang pesawatnya dibajak, saham mereka dilepas cukup besar sebelum 9/11. Sementara perusahaan keamanan, di sisi lain yang bakal meraup untung pascaserangan WTC, juga mengalami kebanjiran order saham. Saham Morgan Stanley, yang berkantor di WTC juga mengalami aksi jual besar-besaran.

4. Pesawat Sebenarnya Bisa Ditembak

NORAD (Komando Pertahanan Amerika Utara) seharusnya mampu menembak pesawat-pesawat yang dibajak atau mampu menghalau pesawat itu mendekati targetnya. Namun NORAD tidak melakukan hal ini dan mereka terlambat mengetahui ada pembajakan pesawat.

5. Pesawat di Pentagon

Teori lainnya mengatakan Pentagon tidak diserang oleh pesawat American Airlines Flight 77. Argumentasinya, Petagon adalah gedung paling aman di dunia, memiliki ribuan kamera pengintai. Tapi tidak ada satupun kamera yang menangkap pesawat bakal menghantam Pentagon. Teori konspirasi menghubungkan serangan Pentagon dengan adanya oknum AS yang menembakkan misil ke markas Dephan itu.

6. Kotak Hitam

Setiap pesawat memiliki dua kotak hitam yang menyimpan informasi penerbangan. Anehnya, tidak ada satupun kotak hitam dari dua pesawat yang menghantam gedung WTC. Namun belakangan, para pekerja yang membersihkan sisa sisa WTC mengatakan mereka menolong agen federal mengambil tiga dari empat kotak hitam di sana. Dan kotak hitam di Pentagon pun diklaim sudah sangat rusak untuk dibaca. Kotak hitam yang bisa dibaca umum hanyalah dari United 93 yang jatuh di Pennsylvania.

7. Aksi CIA dan Mossad

Mantan presiden Italia ikut memberi teori konspirasi. Menurut dia, ada informasi dari kaum kiri Italia yang menyatakan CIA dan Mossad ada di belakang serangan WTC. Sehingga mereka menjadikan Islam dan Muslim sebagai kambing hitam. Bahkan lembaga intelejen Pakistan Inter-Service Intelligence mengklaim tahu ada rencana tersebut.

8. Bukan Pesawat, Tapi Misil

Dengan asumsi badan pesawat terbuat dari alumnium yang kekuatannya rendah untuk meruntuhkan WTC, maka ada sejumlah pihak yang menilai jangan-jangan bukan pesawat yang menabrak WTC tapi sebuah misil dengan efek hologram menyerupai pesawat. Teori ini didukung dari analisis frame per frame siaran tabrakan itu yang menunjukkan bentuk pesawat lebih menyerupai selongsong cerutu yang lonjong.

9. Demi Minyak

Menghancurkan WTC akan membuka jalan bagi negara-negara barat untuk menguasai aset-aset minyak di Timur Tengah. Penggemar teori konspirasi yakin para perusahaan minyak raksasa memiliki sumber daya untuk membuat serangan tersebut
   


[1]  http://id.wikipedia.org/wiki/World_Trade_Cente,  diakses pada 25-11-2011, jam 14:28.
[2]  http://groups.yahoo.com/group/unhas-ml/message/5331
READMORE
 

Relevansi Pendekatan Realism Dalam Studi HI Dewasa Ini

Realism merupakan perspektif yang memandang  sisi negatif dari sifat alamiah manusia yaitu sifat ingin mendominasi. Negara dalam hal ini menjadi objek vital dalam pendekatan realism dengan anggapan bahwa state actor itu selalu ingin mendominasi yang lain. Dari negara itulah  memunculkan anggapan realism terhadap dunia internasional bahwa dunia internasional bersifat anarki dikarenakan sifat ingin mendominasi yang lain. Sedangkan aktor lainnya selain negara hanya bersifat sekunder dimana peran politik global sesungguhnya menurut Realism adalah negara
Dari pandangan realism terhadap dunia global itulah maka dalam mencapai national interestnya yakni dengan jalan struggle for power serta balancing power serta sangat memperhatikan kekuatan pertahanan negaranya sendiri agar tidak dapat didominasi oleh negara lain. Jika ada negara lain yang lebih kuat powernya maka negara yang realis akan berusaha maksimal agar negaranya sendiri dapat menyeimbangkan powernya terhadap negara yang lebih kuat powernya tadi, bahkan berusaha maksimal agar menjadi negara yang lebih kuat powernya. Hal inilah yang menyebabkan dunia internasional akhirnya banyak diwarnai perlombaan senjata, perang, pemerintahan otoriter yang hal itu semua mengganggu ketertiban dunia khususnya kenyamanan kelangsungan hidup manusia.

Realism yang selalu memandang dunia global ini anarki dan selalu berusaha mempunyai power setinggi mungkin menganggap negara lain adalah musuh yang harus diwaspadai dalam dunia global yang anarki yang selalu ingin mendominasi. Hal ini tidak dapat menjelaskan secara memuaskan terhadap pertanyaan “mengapa Amerika Serikat menentang dengan keras program nuklir Iran sedangkan di sisi lain membiarkan (agar kelihatan tidak mendukung sepenuhnya) terhadap program nuklir Israel, India dan Pakistan?”. Jawaban pertanyaan itu dapat didasarkan adanya pertemanan atau aliansi Amerika Serikat dengan Israel, India dan Pakistan. Hal itulah yang mematahkan asumsi realis bahwa manusia atau negara juga dapat harmonis dalam bentuk kerjasama serta pertemanan (aliansi). Atas dasar itulah maka realis dalam dunia internasional saat ini sudah tidak relevan lagi. Apalagi dengan adanya trend politik internasional berpola demokrasi yang mengacu pada perdamaian dan kebebasan dimana demokrasi ini merupakan tool dari Liberalism. Jadi Realism pada saat ini terpatahkan oleh Liberalism. Kesimpulannya Realism tidak relevan pada saat ini dalam dunia internasional.
READMORE
 

Peran WHO Dalam Mengatasi Virus Flu Burung (H5N1) di Indonesia Dari Sudut Pandang Realisme

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       LATAR BELAKANG
            Perkembangan zaman telah membawa bermacam bentuk perubahan yang sangat signifikan bagi masyarakat internasional, dimana perubahan tersebut akan berakibat timbulnya bermacam-macam  permasalahan yang  kompleks dan sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Oleh karenanya diperlukan cara dan jalan keluar yang tepat serta cepat dalam menanggulangi masalah-masalah tersebut.
Masalah-masalah besar yang muncul akhir-akhir ini dan sedang dihadapi oleh masyarakat internasional adalah tingginya angka populasi jumlah penduduk, tingkat pengangguran yang semakin tinggi, kriminalitas, kemiskinan, dan tentu munculnya berbagai macam  penyakit yang terus mengancam kehidupan manusia.
Dengan berbagai masalah yang menghadang manusia seperti tersebut di atas maka kerjasama internasional dalam berbagai bidang sangat diperlukan. Kesadaran bahwa dunia semakin interdependen meningkat, sehingga masalah yang terjadi di suatu Negara akan menjadi masalah di Negara lain. Kesadaran kolektif tumbuh karena adanya masalah bersama yang memerlukan penyelesaian bersama. Kerjasama internasional itu bisa terjadi antara Negara dengan Negara, Negara dengan organisasi internasional, baik yang bersifat IGO, INGO, atau lainnya. Tidak ada satu Negara pun yang bisa berdiri sendiri tanpa bantuan pihak lain. Baik Negara tersebut Negara maju atau pun Negara berkembang seperti Indonesia
            Bagi Negara-negara maju, permasalahan seperti ini sangat mudah dihadapi. Dengan sumber daya manusia yang dimiliki, permasalahan seperti diatas sangat mudah untuk diselesaikan. Berbeda dengan Negara berkembang seperti Indonesia, masalah seperti ini menjadi sangat rumit dan kompleks untuk diselesaikan. Mengingat sedikitnya sumber daya manusia berkualitas dan jumlah anggaran dana yang dialokasikan untuk permasalahan tersebut, sangat dimungkinkan masalah ini dapat menghambat proses perkembangan dan pembangunan nasional. Oleh karena itu negara berkembang seperti Indonesia sangat memerlukan kerjasama dan bantuan dari pihak luar untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia dan juga internasional beberapa waktu yang lalu hingga saat ini adalah pandemi flu burung. Wabah flu burung (Avian influenza) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh burung tipe A strain virus influenza. Sejak sekitar tahun 2003 penyakit ini mulai teridentifikasi di China dan vietnam. Di Indonesia sendiri Flu Burung mulai memakan korban sejak 2005. Pada tahun tersebut 20 orang dinyatakan terserang flu burung, 13 diantaranya meninggal. [1]
Sejak secara luas muncul kembali pada tahun 2003 dan 2004, virus flu burung ini telah menyebar dari Asia ke Eropa dan Afrika dan telah menjangkit unggas-unggas di beberapa Negara yang berakibat jutaan unggas terinfeksi dan ditemukannya kasus kematian manusia yang mencapai angka ratusan.  Fakta bahwa iklim di Indonesia sangat kondusif  bagi perkembangan virus avian influenza (iklim tropis dan sub tropis) menyebabkan penyebaran flu burung begitu cepat ke seluruh kawasan Indonesia. Bahkan hingga saat ini Indonesia menjadi salah satu  negara yang memiliki korban flu burung terbesar di dunia.[2]
Cepatnya penyebaran dan ganasnya penyakit ini membuat pemerintah harus bekerja cepat untuk melakukan tindakan pencegahan agar flu burung tidak terus memakan korban dan penyebarannya bisa diminimalisir. Bekerjasama dengan WHO menjadi salah satu jalan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia.

[1] World Health Organization, “Situation Update Avian Influenza”, http://www.ino.searo.who.int [4 oktober 2011]

[2] Flu Burung.ORG “Wilayah Penyebaran Avian Influenza di Dunia dan Indonesia” http://fluburung.org. [11 Oktober 2011]
 
 Adanya kerjasama yang terjalin antara pemerintah Indonesia dengan WHO sebagai organisasi internasional yang bergerak di bidang kesehatan menarik perhatian penulis. Pasalnya Indonesia sendiri telah menemukan vaksin untuk mengobati virus flu burung tanpa bantuan WHO. Lantas jika Indonesia telah menemukan vaksin penangkalnya, apalagi yang bisa dilakukan WHO. Seberapa dalam campur tangan WHO dalam penanganan pandemic flu burung setelah Indonesia menemukan anti virusnya. Oleh karena itu tulisan ini mengambil  judul “PERAN WHO DALAM MENGATASI VIRUS FLU BURUNG (H5N1) DI INDONESIA DILIHAT DARI SUDUT PANDANG REALISME.

1.2       RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas dapatlah kita tarik inti permasalah dari tulisan ini yaitu “Bagaimana Peran WHO Dalam Menangani Virus Flu Burung di Indonesia Dilihat Dari Sudut Pandang Realisme?

1.3       KERANGKA TEORI
Dalam organisasi internasional dikenal ada tiga konsep yang dapat dipakai untuk melihat seberapa dalam sebuah organisasi internasional mampu mengintervensi Negara anggotanya, yakni :
1.      Realism
Paham  realis percaya bahwa sistem internasional bersifat anarkis, yang berarti tidak ada kekuasaan tertinggi dalam sistem internasional. Setiap Negara memiliki otoritas masing-masing. Realis menyadari bahwa organisasi internasional adalah bentuk control dari Negara powerfull terhadap Negara less power. Dasarnya adalah karena organisasi-organisasi tersebut dibentuk oleh Negara-negara powerfull tadi untuk kepentingan negaranya. Efektifitas organisasi internasional pun menjadi sebatas berhubungan dengan kepentingan dari negara hegemon tersebut; organisasi internasional hanyalah merupakan perpanjangan tangan dari negara hegemoni. Organisasi internasional hanya memberikan sedikit signifikansi dalam perdamaian dunia karena organisasi internasional tidak bisa membatasi perilaku Negara. Negara tidak akan patuh pada organisasi internasional.[3]
2.      Internasionalisme
Memandang bahwa Negara sebagai masyarakat intenasional sama saja dengan masyarakat dalam suatu Negara. Dalam organisasi internasional, Negara tetap dipandang sebagai actor utama. Namun berbeda dengan pandangan realis, dalam pandangan internasionalism Negara bisa diatur oleh organisasi internasional. Organisasis internasional bisa membuat peraturan atau hanya melakukan pengawasan terhadap kesepakatan yang dibuat antar Negara. Organisasi internasional berperan penting sebagai pengatur hubungan antar Negara.[4]
3.      Universalisme
Dalam pandangan ini, kedaulatan Negara semakin lemah. Organisasi yang memegang peranan.[5]
Fakta menunjukkan pemerintah Indonesia berhasil menemukan vaksin penangkal virus flu burung. Vaksin tersebut ditemukan dari hasil percobaan yang telah dilakukan oleh mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. 

[3]Review Semester2-OI  http://www.scribd.com [16 oktober 2011]
 
[4] J. Samuel Barkin, International organization : Theories and Instituions,  Palgrave macmillan, New York, 2006, hal 12-13
[5] Ibid, hal 13
 
Pada tanggal 22 Agustus 2011 Indonesia sendiri melalui Menkokesra bekerjasama dengan PT Bio Farma siap memproduksi vaksin tersebut dengan adanya penyerahan seed vaccine H5N1 dari Unair yakni A/Indonesia/Unair/2005.[6] Keberhasilan Indonesia menemukan sendiri vaksin tersebut bisa dijadikan bukti bahwa Indonesia tidak terlalu bergantung pada WHO dalam penanganan kasus flu burung. Hal ini sesuai dengan teori realism dalam pendekatan organisasi internasional. Dimana teori ini berpendapat bahwa tiap Negara memiliki otoritas sendiri dan bahwa organisasi internasional tidak terlalu memegang peranan dalam Negara tersebut.

[6] BUMN “Menko Kesra: Indonesia Siap Produksi Vaksin Flu Burung” http://www.bumn.go.id. [11 Oktober 2011]



Pembahasan lebih lanjut mengenai peran WHO di Indonesia dilihat melalui kacamata realism akan dibahas dalam bab pembahasan. 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  WHO sebagai Organisasi Internasional
Pada dasarnya perkembangan organisasi internasional merupakan jawaban atas kebutuhan yang timbul akibat pergaulan internasional.[7] Begitu juga dalam pembentukan WHO sebagai organisasi internasional. Banyaknya ragam penyakit yang menyerang masyarakat dunia membuat Negara-negara sebagai pelaku pergaulan internasional menginginkan adanya wadah atau organisasi yang bisa menjadi acuan dalam menangani penyakit-penyakit di dunia ini.
WHO ( World Health Organization) adalah salah satu  badan PBB yang bertindak sebagai koordinator kesehatan umum internasional yang bermarkas di Jenewa, Swiss. WHO didirikan pada 7 agustus 1948. WHO didirikan dengan tujuan organisasinya adalah “pencapaian tingkat kesehatan setinggi mungkin oleh seluruh rakyat.” Dan untuk mewujudkan tujuannya itu terdapat daftar tugas WHO yang meliputi pemberian bantuan kepada pemerintah, penyediaan bantuan teknis, mengusulkan agar diadakannya konvensi dan perjanjian-perjanjian, pengembangan riset, sampai pada melakukan studi-studi serta penyediaan informasi.[8] Aktivitas WHO diatur oleh sebuah Komisi Interim seperti ditentukan dalam sebuah Konferensi Kesehatan Internasional pada musim panas 1946.

[7] D.W.Bowett Q.C.L.L.D, Hukum Organisasi Internasional  Sinar Grafika, Jakarta, 1992 hal 1
[8] Ibid. hal 144

Selain mengatur usaha-usaha internasional untuk mengendalikan penyebaran penyakit menular, seperti SARS, malaria, tuberkulosis, flu burung, flu babi dan AIDS, WHO juga mensponsori program-program yang bertujuan mencegah dan mengobati penyakit-penyakit seperti contoh-contoh tadi. WHO mendukung perkembangan dan distribusi vaksin yang aman dan efektif, diagnosa penyakit dan kelainan, dan obat-obatan. [9]
WHO memenuhi tujuan melalui fungsi inti:
·   Menyediakan kepemimpinan pada hal-hal penting untuk kesehatan dan terlibat dalam kemitraan dimana aksi bersama diperlukan;
·   Membentuk agenda penelitian dan merangsang generasi, terjemahan dan penyebaran pengetahuan yang berharga;
·   Menetapkan norma dan standar dan mempromosikan dan memantau pelaksanaanya;
·   Mengartikulasikan pilihan kebijakan etis dan berdasarkan bukti;
·   Memberikan dukungan teknis, katalis perubahan, dan membangun kapasitas kelembagaan yang berkelanjutan, dan
·   Memantau situasi kesehatan dan menilai tren kesehatan.

2.2       Peran WHO dalam Penanganan Flu Burung di Indonesia dalam Sudut Pandang Realisme
Kasus flu burung pertama kali ditemukan di Indonesia pada pada tahun 2005. Pada hari senin, 19 september 2005, pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menetapkan bahwa flu burung sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).[10] Pada tahun tersebut 20 orang dinyatakan terinfeksi virus flu burung dan 13 diantaranya meninggal. Selain melakukan berbagai tindakan pencegahan sendiri pemerintah juga telah menjalin kerjasama dengan WHO sebagai badan resmi kesehatan internasional dalam penanganan kasus ini.

[9] Wikipedia “Kegiatan dan Aktivitas WHO” http://id.wikipedia.org [11 Oktober 2011]
[10] “Ada KLB Flu Burung di Indonesia” http://donowidiatmoko.wordpress.com [4 oktober 2011]


WHO sebagai lembaga yang mempunyai otoritas kesehatan di seluruh dunia menyatakan telah bertindak cepat dengan menerjunkan tim yang meneliti berbagai aspek penyebaran kasus flu burung ini. WHO juga telah mengeluarkan berbagai petunjuk, guidelines, dan prosedur dalam menyikapi munculnya kasus ini.[11] Di Indonesia sendiri WHO telah menyerahkan bantuan untuk Indonesia berupa 22 unit ambulans dan beasiswa bagi 48 mahasiswa untuk pelatihan field epidemoligy. [12] Serta menjalin kerja sama dengan pemerintah berupa pemberian bantuan berupa 36.000 boks Tamiflu, meningkatkan pengawasan, manajemen terhadap serangan penyakit, dan menyiapkan Rumah Sakit yang siap siaga. [13] Satu lagi kerja sama yang ditawarkan WHO kepada pemerintah Indonesia, yakni WHO meminta pemerintah Indonesia menyerahkan sampel virus flu burung yang menyerang masyarakat guna kepentingan penelitian.
Namun pada prakteknya hubungan kerja sama pemerintah dan WHO tidaklah seharmonis itu. Ketika pemerintah menetapkan terjadinya KLB pada kasus flu burung, ternyata hal ini tanpa sepengetahuan WHO sebagai badan kesehatan intenasional.[14] WHO dibuat terkejut dengan pernyataan Menkes saat itu.
 [11] Ibid.

[12] Okezone.com “WHO : Indonesia Berhasil Tekan Kasus Flu Burung” http://news.okezone.com [4 oktober 2011]
[13] “Avian Influenza”, http://www.who.or.id/ind/php/index.php [4 oktober 2011]
[14] “Wabah Flu Burung di Indonesia” http://koranpdhi.com [4 oktober 2011]

 
Selain itu permintaan WHO atas pengiriman sampel virus flu burung yang menyerang orang dari Indonesia ternyata menimbulkan konflik antara Indonesia melalui Menteri Kesehatan. Pada akhirnya diketahui ternyata sampel virus tersebut digunakan untuk penelitian guna membuat anti virusnya. Yang menjadi masalah adalah bahwa ternyata anti virus tersebut diperjualbelikan secara komersial kepada Negara-negara dengan harga mencapai ratusan miliar dolar tanpa sepengetahuan Negara pengirim sampel virus dan tanpa kompensasi kepada Negara bersangkutan. Hal ini jelas merugikan terutama apabila itu terjadi kepada Negara miskin dan berkembang. Yang diuntungkan adalah Negara maju yang berada di belakang WHO. Ketika masyarakat Negara miskin tersebut berada diantara hidup dan mati karena terkena flu burung, pemerintahnya masih harus mengeluarkan uang guna membeli anti virusnya yang mungkin saja sampel virus pembuatan antivirusnya berasal dari Negara itu sendiri. Yang seharusnya Negara itu mendapat kompensasi, malah sebaliknya, mereka mengeluarkan uang yang tidak sedikit.[15]
Menteri kesehatan saat itu secara terang-terangan menyatakan menolak mengirimkan sampel virus ke WHO karena tahu bahwa sampel tersebut akan dikirim ke Amerika Serikat yang kemudian akan mengolah virus tersebut menjadi vaksin dan memperjualbelikannya dengan harga yang tinggi kepada Negara-negara penderita flu burung tanpa memberikan kompensasi kepada Indonesia sebagai Negara pengirim sampel. Dalam  hal ini Indonesia jelas sangat dirugikan. Oleh karena itu menkes menolak untuk mengirim lagi sampel virus kepada WHO. Ditambah lagi, menkes menemukan fakta bahwa GISN (Global Influenza Surveillance Network) memang benar-benar ada. Dengan dalih adanya GISN WHO meminta Negara-negara untuk mengirimkan virus kepada WHO secara gratis. Padahal GISN tidak ada didalam struktur WHO, mereka berada dibawah control Amerika Serikat. Jadi jika mau diambil kesimpulan kasar, semua ini akan mengarah pada keuntungan AS sebagai Negara adidaya.

[15] Wawancara khusus dengan Menkes Siti Fadilah Supari “Protes Ketidakadilan Pengelolaan virus WHO” www.perpustakaan.depkes.go.id [22 oktober 2011]
Fakta lain menunjukkan pemerintah Indonesia telah berhasil menemukan vaksin penangkal virus flu burung. Vaksin tersebut ditemukan dari hasil percobaan yang telah dilakukan oleh mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Pada tanggal 22 Agustus 2011 Indonesia sendiri melalui Menkokesra bekerjasama dengan PT Bio Farma siap memproduksi vaksin tersebut dengan adanya penyerahan seed vaccine H5N1 dari Unair yakni A/Indonesia/Unair/2005.[16] Keberhasilan Indonesia menemukan sendiri vaksin tersebut bisa dijadikan bukti bahwa Indonesia tidak terlalu bergantung pada WHO dalam penanganan kasus flu burung.

[16] BUMN “Menko Kesra: Indonesia Siap Produksi Vaksin Flu Burung” http://www.bumn.go.id. [11 Oktober 2011]

Berdasar pada dua fakta diatas, dapat dikatakan bahwa WHO sebagai organisasi internasional tidak bisa mengontrol Indonesia. Pemerintah Indonesia mampu bergerak sendiri dalam penanganan flu burung. Hal ini sesuai dengan teori realism.
Dalam teori realism, dinyatakan bahwa Negara tetap memiliki otoritas tertinggi, organisasi internasional tidak memiliki control atas Negara. Indonesia memutuskan untuk tidak megirimkan lagi sampel virus kepada WHO karena mengetahui adanya kecurangan WHO dalam penggunaan virus tersebut. Ketika Indonesia sudah memutuskan untuk tidak mengirim lagi virus tersebut, WHO tidak dapat melakukan apa-apa, WHO tidak dapat memaksa Indonesia, karena otoritas tertinggi tetap ada di tangan pemerintah Indonesia.
Realis berpendapat bahwa organisasi internasional merupakan kepanjangan tangan dari Negara-negara super power. Semua yang dilakukan organisasi merupakan perwujudan untuk tercapainya kepentingan Negara tersebut. Seperti yang dinyatakan Menteri Kesehatan Indonesia bahwa WHO mengatasnamakan GISN untuk meminta Negara-negara mengirimkan sampel virus kepada WHO secara gratis. Sampel virus itu akan diteliti untuk menciptakan antivirusnya yang mana selanjutnya antivirus itu akan dijual dengan harga yang sangat tinggi kepada Negara penderita tanpa memberikan kompensasi kepada Negara asal sampel virus yang dipakai untuk penelitian. Pada akhirnya diketahui bahwa ternyata GISN tidak ada dalam dtruktur WHO. GISN hanyalah buatan Amerika Serikat. Ini berarti apa yang dilakukan WHO dengan virus-virus tadi hanyalah untuk kepentingan AS. Artinya WHO bekerja untuk kepentingan AS.
Faktanya WHO memang memberikan bantuan kepada Indonesia berupa peningkatan pengawasan, penyiapan RS yang siap siaga, pelatihan field epidemoligy, pemberian 22 unit ambulans, dan 36000 boks Tamiflu. apa yang diberikan WHO ini memang diperlukan, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa ini tidaklah signifikan, bukan yang paling diperlukan Indonesia. Yang paling diperlukan Indonesia, yakni antivirus, malah ditemukan sendiri oleh orang Indonesia. WHO memang menemukan, tapi mereka menjualnya dengan harga tinggi kepada negara-negara penderita, yang akhirnya menimbulkan konflik dengan Indonesia. artinya apa yang menurut realism organisasi internasional hanya memberikan sedikit signifikansi memang benar adanya.

BAB III
KESIMPULAN

Dipandang dari teori realism pengaruh WHO dalam penanganan flu burung di Indonesia dapat disimpulkan tidak terlalu memegang peranan. WHO memang memberikan bantuan kepada pemerintahan Indonesia namun bantuan itu bukanlah bentuk bantuan yang paling dibutuhkan Indonesia dalam usahanya menangani serangan flu burung di masyarakat. Hal yang paling dibutuhkan Indonesia, yakni anti virus (vaksin) malah ditemukan sendiri oleh orang Indonesia. hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak terlalu memerlukan campur tangan WHO.
Dalam realis disebutkan bahwa organisasi internasional hanyalah kepanjangan tangan dari Negara fullpower yang bekerja untuk kepentingan Negara tersebut. Hal ini benar adanya. WHO terbukti bekerja untuk kepentingan Amerika Serikat khususnya dalam kasus flu burung ini. Mengatasnamakan GISN WHO meminta kepada Negara-negara yang terkena virus untuk menyerahkan virus tersebut secara gratis kepada WHO yang nantinya akan dijual oleh WHO dengan harga yang tinggi setelah ditemukan antivirusnya tanpa memberikan kompensasi kepada Negara pemberi virus. Uang hasil penjualan antivirus itu tentu akan semakin memperkaya Amerika Serikat. Jelas disini bahwa WHO bekerja untuk AS, bukan untuk kepentingan masyarakat dunia. WHO merupakan kepanjangan tangan dari AS, Negara fullpower.
Melihat kecurangan kerja yang dilakukan WHO tersebut, Indonesia melalui Kemenkes menyatakan pemberhentian pengiriman antivirus flu burung kepada WHO. Ketika Indonesia memutuskan demikian, WHO tidak bisa melakukan apa-apa, karena WHO sebagai organisasi tidak memiliki kontrol kepada Negara, Negara memiliki otoritas penuh terhadap dirinya sendiri.
Jadi dapatlah ditegaskan kembali bahwa peran WHO dalam penanganan flu burung di Indonesia tidak terlalu dalam. WHO tidak terlalu memegang peranan penting dalam penanganan kasus flu burung di Inonesia.

                                           


                                                         DAFTAR PUSTAKA

Buku
Barkin, J. S. 2006. International organization : Theories and Instituions. New York: Palgrave Macmillan

Q.C.L.L.D, Bowet D.W. 1992. Hukum Organisasi Internasional. Jakarta: Sinar Grafika

Internet
Avian Influenza.  http://www.who.or.id/ind/php/index.php  [4 Oktober 2011]

BUMN. 2011.  Menko Kesra : Indonesia Siap Produksi Vaksin Flu Burung. http://www.bumn.go.id [11 Oktober 2011]

Flu Burung.ORG. Wilayah Penyebaran Avian Influenza di Dunia dan Indonesia. http://fluburung.org. [11 Oktober 2011]

Okezone.com. WHO : Indonesia Berhasil Tekan Kasus Flu Burung. http://news.okezone.com [4 Oktober 2011]

Rezeki, Sri. Review Semester2-OI. http://www.scribd.com. [16 Oktober 2011]

Wabah Flu Burung di Indonesia. http://koranpdhi.com [4 Oktober 2011]

Wawancara khusus dengan Menkes Siti Fadilah Supari “Protes Ketidakadilan Pengelolaan virus WHO”. www.perpustakaan.depkes.go.id [22 oktober 2011]
Widiatmoko, Dono. Ada KLB Flu Burung di Indonesia. http://donowidiatmoko.wordpress.com [4 Oktober 2011]

Wikipedia. Kegiatan dan Aktivitas WHO.  http://id.wikipedia.org. [11 Oktober 2011]

World Health Organization. Situation Update Avian Influenza. http://www.ino.searo.who.int [4 Oktober 2011]


[1] World Health Organization, “Situation Update Avian Influenza”, http://www.ino.searo.who.int [4 oktober 2011]
[2] Flu Burung.ORG “Wilayah Penyebaran Avian Influenza di Dunia dan Indonesia” http://fluburung.org. [11 Oktober 2011]
[3]Review Semester2-OI  http://www.scribd.com [16 oktober 2011]
[4] J. Samuel Barkin, International organization : Theories and Instituions,  Palgrave macmillan, New York, 2006, hal 12-13
[5] Ibid, hal 13
[6] BUMN “Menko Kesra: Indonesia Siap Produksi Vaksin Flu Burung” http://www.bumn.go.id. [11 Oktober 2011]
[7] D.W.Bowett Q.C.L.L.D, Hukum Organisasi Internasional  Sinar Grafika, Jakarta, 1992 hal 1
[8] Ibid. hal 144                                                                                                                                                   
[9] Wikipedia “Kegiatan dan Aktivitas WHO” http://id.wikipedia.org [11 Oktober 2011]
[10] “Ada KLB Flu Burung di Indonesia” http://donowidiatmoko.wordpress.com [4 oktober 2011]
[11] Ibid.
[12] Okezone.com “WHO : Indonesia Berhasil Tekan Kasus Flu Burung” http://news.okezone.com [4 oktober 2011]
[13] “Avian Influenza”, http://www.who.or.id/ind/php/index.php [4 oktober 2011]
[14] “Wabah Flu Burung di Indonesia” http://koranpdhi.com [4 oktober 2011]
[15] Wawancara khusus dengan Menkes Siti Fadilah Supari “Protes Ketidakadilan Pengelolaan virus WHO” www.perpustakaan.depkes.go.id [22 oktober 2011]
[16] BUMN “Menko Kesra: Indonesia Siap Produksi Vaksin Flu Burung” http://www.bumn.go.id. [11 Oktober 2011]
READMORE