Konsumerisme, Budaya atau Gejala?

Oleh: Guntur Rahmatullah*

Terdapat beberapa karakteristik masyarakat modern dalam globalisasi yang kemudian dianggap sebagai trend umum. Salah satu karakteristik itu adalah kebutuhan akan konsumsi sebagai upaya pemenuhan kebutuhan manusia. Namun terdapat suatu perbedaan akibat perubahan dan perkembangan secara radikal secara global sehingga mencapai bentuk yang jauh berbeda dari bentuk awalnya. Bahkan dalam dunia global ini pola konsumsi sudah menjadi sebuah trend dan “madzhab“ yang akrab didengar dengan sebutan Konsumerisme.
            Singkat kata, konsumerisme adalah suatu pola pikir  serta tindakan dimana orang melakukan  tindakan membeli barang bukan dikarenakan ia membutuhkan barang itu tetapi dikarenakan tindakan membeli itu sendiri memberikan kepuasan kepada dirinya sendiri. Menurut Yasraf Amir Piliang, fenomena yang menonjol dalam masyarakat Indonesia saat ini, yang menyertai kemajuan ekonomi adalah berkembangnya budaya konsumsi yang ditandai dengan berkembangnya gaya hidup. Berbagai gaya hidup yang terlahir dari kegiatan konsumsi semakin beragam pada masyarakat perkotaan Indonesia, terutama Jakarta. Kalau dulu ada istilah yang populer yakni ”Cogito Ergosum: Aku berpikir maka aku ada”, tetapi sekarang istilah yang populer adalah: ”I shop therefore I am: Aku berbelanja maka aku ada”
Konsumerisme di Indonesia ini telah banyak melanda semua level dalam masyarakat. Sebagai contoh adalah apabila suatu barang yang lagi up to date maka orang akan membeli tanpa peduli apakah ia membutuhkan atau tidak, contoh lainnya adalah kegiatan nge-mall, clubbing, fitness, nge-wine, hang out di cafe adalah contoh gaya hidup yang nampak menonjol saat ini. Semua aktifitas tersebut adalah perwujudan dari hingar bingar konsumsi.

KONSUMSI
Ada beberapa konseptualisasi dalam istilah konsumsi. Konsumsi, menurut Yasraf, dapat dimaknai sebagai sebuah proses objektifikasi, yaitu proses eksternalisasi atau internalisasi diri lewat objek-objek sebagai medianya.[1] Maksudnya, bagaimana kita memahami dan mengkonseptualisasikan diri maupun realitas di sekitar kita melalui objek-objek material. Disini terjadi proses menciptakan nilai-nilai melalui objek-objek dan kemudian memberikan pengakuan serta penginternalisasian nilai-nilai tersebut.
Definisi tersebut memberi frame bagi kita dalam memahami alasan mengapa orang terus menerus berkonsumsi. Objek-objek konsumsi telah menjadi bagian yang internal pada kedirian seseorang. Sehingga sangat berpengaruh dalam pembentukan dan pemahaman konsep diri. Sebagai ilutrasi misalnya, banyak remaja yang merasa dirinya bisa benar-benar menjadi remaja ‘gaul’ jika mereka mengenakan jeans dan model kaos atau baju yang sedang menjadi trend saat itu. Pakaian yang merupakan objek konsumsi, menjadi penanda identitas mereka dibanding karakter psikis, emosional ataupun penanda fisik pada tubuh mereka.
Tanda-tanda pada objek konsumsi pada kenyataannya justru cenderung digunakan untuk menandai relasi-relasi sosial. Saat ini objek konsumsi mampu menentukan prestise, status dan simbol-simbol sosial tertentu bagi pemakainya. Objek juga mampu membentuk perbedaan-perbedaan sosial dan menaturalisasikannya melalui perbedaan-perbedaan pada tingkat pertandaan. Itulah mengapa orang cenderung menilai dan mengenali orang dari penempilan luarnya, apa yang dikenakannya, asseorisnya mulai dari tas, sepatu, kacamata, dsb., bermerek apa, dan seterusnya. Barang-barang bermerek menunjukkan nilai sosial yang tinggi. Pada barang-barang tersebut tertempel nilai eksklusifitas.
Memang kenyataan bahwa konsumsi sebagai satu sistem diferensiasi, sistem pembentukan perbedaan-perbedaan status, simbol dan prestise sosial telah menandai pola sosial masyarakat konsumer. Dalam masyarakat konsumerisme, masyarakat hidup di suatu bentuk relasi subjek-objek yang baru, yaitu relasi konsumerisme. Dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi dipandang sebagai ekspresi diri atau eksternalisasi para konsumer (bukan melalui kegiatan penciptaan), dan sekaligus sebagai internalisasi nilai-nilai sosial budaya yang terkandung didalamnya. Tidak heran jika saat ini banyak sekali kelompok-kelompok sosial yang terbentuk berdasarkan konsumsi terhadap produk tertentu. Misalnya kelompok arisan ”Luis Vuitton”, Grup Motor ”Harley Davidson”, dan sebagainya. Komunitas tersebut terbentuk sebagai upaya pembentukan differensiasi dan prestise. Komunitas semacam itu menyetarakan eksklusifitas mereka dengan merek-merek tersebut.
Bentuk-bentuk fanatisme seperti itu pada kenyataannya tidak hanya terjadi pada konsumsi objek-objek yang bernilai ekslusif. Karena tren yang belakangan ini sedang digalakkan oleh para produsen adalah membangun fanatisme konsumen melalui inklusi konsumen dalam komunitas tertentu. Sebagai contoh, setiap grup musik yang populer saat ini pasti memiliki fans club-nya masing-masing. Tidak hanya itu, hampir setiap produk konsumsi yang dipasarkan sekarang juga memiliki komunitas tersendiri, misalnya komunitas Yamaha, komunitas Esia, dst. Dalam komunitas tersebut, sense of belonging terhadap produk yang mereka konsumsi terus ditingkatkan sehingga fanatisme orang terhadap produk yang mereka konsumsi terus bertahan atau bahakan bertambah. Sebagai konsekuensinya, anggota komunitas-komunitas itu akan terus mengkonsumsi produk tersebut secara sukarela sebagai wujud loyalitas terhadap komunitasnya.
Adalah suatu hal wajar sekarang mendengar orang-orang berterbangan kesana-kemari, berpindah tempat dari satu benua ke benua yang lainnya hanya untuk berbelanja atau shopping. Adalah hal yang wajar pula menyaksikan artis pergi ke luar negeri sekedar untuk membeli baju atau tas. Wajar juga buat kita, dan bahkan kita menyambutnya dengan suka ria ketika supermarket dunia seperti Carrefour, Giant atau Hypermart membuka cabangnya di daerah dekat tinggal kita. 
Bahkan, kita seringkali merasa penting untuk mengetahui mengikuti dengan seksama melalui media berbagai pertemuan perdagangan tingkat dunia yang silih berganti dilaksanakan, mencari tahu kebijakan-kebijakan perekonomian global, dan seterusnya. Hal tersebut seolah-olah menjadi sangat penting karena berpengaruh atau bahkan menentukan masa depan kita. Rasionalitas kita menerima semua hal tadi sebagai sesuatu yang wajar dan lazim saja.
Kita menginternalisasi kegiatan konsumsi dan kemudian mengubah pengalaman ini ke dalam semua aktifitas manusia lainnya dan ke dalam aspek-aspek eksistensi sosial kita. Itu membuktikan bahwa konsumsi telah terkonstruksi dalam rasionalitas kita, dan pasti dalam rasionalitas masyarakat global dunia sehingga konseptualisasi kita mengenai diri dan dunia dipengaruhi atau dibentuk oleh konsumsi.

Konsumerisme
Peter N. Stearns[2] mengungkapkan bahwa kita hidup dalam dunia yang sangat diwarnai konsumerisme. Istilah konsumerisme, menurut Stearns :
..... consumerism is best defined by seeing how it emerged.but obviously we need some preliminary sense of what we are talking about. Consumerism describes a society in which many people formulate their goals in life partly through acquiring goods that they clearly do not need for subsistence or for traditional display. They become enmeshed in the process of acquisition shopping and take some of their identity from a posessionof new things that they buy and exhibit. In this society , a host of institutions both encourage and serve consumerism.. from eager shopkeepers trying to lure customers into buying more than they need to produce designer employed toput new twists on established models, to advertisers seeking ti create new needs..”
        Konsumerisme, pada masa sekarang telah menjadi ideologi baru. Ideologi tersebut secara aktif memberi makna tentang hidup melalui mengkonsumsi material. Bahkan ideologi tersebut mendasari rasionalitas masyarakat kita sekarang, sehingga segala sesuatu yang dipikirkan atau dilakukan diukur dengan perhitungan material. Ideologi tersebut jugalah yang membuat orang tiada lelah bekerja keras mangumpulkan modal untuk bisa melakukan konsumsi.
       Ideologi konsumerisme, pada realitasnya sekarang telah menyusupi hampir pada segala aspek kehidupan masyarakat, mulai dari aspek politik sampai ke sosial budaya. Menurut Trevor Norris[3], konsumerisme terkenal bersifat korosif dalam kehidupan politik. Konsumerisme dalam hal ini dipandang sebagai suatu proses dehumanisasi dan depolitisasi manusia karena para warga negara yang aktif dan kritis telah banyak yang berubah menjadi konsumen yang sangat sibuk dan kritikus atau peneliti pasif.
Baudrillard sejak lebih dari dekade lalu telah menyadari fenomena konsumsi tersebut dalam masyarakat sehingga kemudian menyatakan,
”..with the advent of consumer society,we are seemingly faced for the first time in history by an irreversible organized attempt to swamp society with objects and integrate it into an indispensable system designed to replace all open interaction between natural forces,needs and techniques”




Asal Mula Konsumerisme
Beberapa disiplin ilmu telah menganalisa konsumerisme dan masyarakat konsumen. Topik ini bahkan menjadifokus perhatian dalam studi sosiaologi sejak tahun 1980an. Terdapat perdebatan yang luas menyangkut munculnya masyarakat konsumen.
Beberapa ilmuwan menyebut beberapa poin tertentu yang berkaitan dengan munculnya kapitalisme modern seiring dengan revolusi industri. Asal mula konsumerisme dikaitkan dengan proses industrialisasi pada awal abad ke-19. Karl Marx menganalisa buruh dan kondisi-kondisi material dari proses produksi. Menurutnya, kesadaran manusia ditentukan oleh kepemilikan alat-alat produksi. Prioritas ditentukan oleh produksi sehingga aspek lain dalam hubungan antar manusia dengan kesadaran, kebudayaan dan politik dikatakan dikonstruksikan oleh relasi ekonomi.
Kapitalisme yang dikemukakan Marx adalah suatu cara produksi yang dipremiskan oleh kepemilikan  pribadi sarana produksi. Kapitalisme bertujuan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dan dia melakukannya dengan mengisap nilai surplus dari pekerja. Tujuan kapitalisme adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya, terutama dengan mengeksploitasi pekerja. Realisasi nilai surplus dalam bentuk uang diperoleh dengan menjual produk sebagai komoditas.
Komoditas adalah sesuatu yang tersedia untuk dijual di pasar. Sedangkan komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, diamana objek, kualitas dan tanda berubah menjadi komoditas.
Kapitalisme adalah suatu sistem dinamis dimana mekanisme yang didorong oleh laba mengarah pada revolusi yang terus berlanjut atas sarana produksi dan pembentukan pasar baru. Ada indikasi ekspansi besar-besaran dalam kapasitas produksi kaum kapitalis. Pembagian kelas yang mendasar dalam kapitalisme adalah antara mereka yang menguasai sarana produksi, yaitu kelas borjuis, dengan mereka yang karena menjadi kleas proletar tanpa menguasai hak milik, harus menjual tenaga untuk bertahan hidup. [4]

Horkheimer dan Adorno[5] mengemukakan bahwa logika komoditas dan perwujudan rasionalitas instrumental dalam lingkup produksi tampak nyata dalam lingkup konsumsi. Pencarian waktu bersenang-senang, seni dan budaya tersalur melalui industri budaya. Resepsi tentang realitas diarahkan oleh nilai tukar (exchange value) karena nilai budaya yang mengalahkan logika proses produksi dan rasionalitas pasar. Selain itu juga terjadi standarisasi produk-produk budaya untuk memaksimalkan konsumsi.
Dalam pemikiran Baudrillard, yaitu bahwa konsumsi membutuhkan manipulasi simbol-simbol secara aktif. Bahkan menurut Baudrillard, yang dikonsumsi bukan lagi use atau exchange value, melainkan “symbolic value”, maksudnya orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan karena kegunaan atau nilai tukarnya, melainkan karena nilai simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi.
Konsumsi pada era ini diangap sebagai suatu respon terhadap dorongan homogenisasi dari mekanisasi dan tehnologi. Orang-orang mulai menjadikan konsumsi sebagai upaya ekspresi diri yang penting, bahasa umum yang kita guinakan untuk mengkomunikasikan dan menginterpretasi tanda-tanda budaya.
Ilmuwan yang lain berargumen bahwa konsumersime merupakan fenomena abad 20 yang dihubungkan dengan munculnya komunikasi massa, bertumbuhnya kesejahteraan dan semakin banyaknya perusahaan modern. Konsumerisme menjadi sarana utama pengekspresian diri, partisipasi dan kepemilikan pada suatu masa dimana institusi komunal tradisional, seperti keluarga, agama dan negara telah terkikis.
Konsumerisme juga terjadi seiring dengan meningkatnya ketertarikan masyarakat terhadap perubahan dan inovasi, sebagai respon terhadap pengulangan yang sangat cepat dari hal-hal yang lama atau pencarian terhadaphal yang baru: produk baru, pengalaman baru dan citra baru. 
Apa yang penting dari analisa ini adalah adanya perubahan bertahap pada abad ke 20 dari sentralitas produksi barang-barang menjadi kepentingan politis dan budaya dari produksi kebutuhan.
Pandangan Baudrillard memberikan analisis yang original tentang masyarakat konsumen, dan juga dapat menjelaskan bagaimana struktur komunikasi dan sistem tanda mampu mempertahankan eksistensi masyarakat  konsumen tersebut.
Analisa Baudrillard tentang masyarakat konsumsi disarikan melalui analisa dari disiplin semiotika, psikoanalisa dan ekonomi politik dalam produksi tanda. Menurut Baudrillard, sistem komunikasi berperan sangat penting dalam masyarakat konsumen, terutama menyangkut produksi tanda.
Douglas Kellner menjelaskan, bahwa menurut Baudrillard, Modernisme berkaitan dengan proses produksi objek, sedangkan posmodernisme concern terhadap simulasi dan produksi tanda.
”Modernity thus centered on the production of things—commodities and products, while postmodernity is characterized by radical semiurgy, by a proliferation of signs
Sependapat dengan para pemikir posmodernisme perancis lainnya, Baudrilard  juga mengemukakan kritik terhadap teori Marx. Kritisme paling utama dari Baudrillar terhadap teori Marx mungkin berkenan dengan perubahan dari produksi objek menjadi produksi tanda, dari alat-alat produksi menjadi lat-alat konsumsi atau “the simultaneous production of the commodity as sign and the sign as commoditty”
Dominasi tidak lagi terjadi dalam bentuk kontrol terhadap alat-alat produksi ,namun dominasi lebih banyak terjadi pada alat-alat konsumsi. Terlebih lagi, dominasi tersebut terjadi pada tingkatan model signifikansi (dulunya model produksi) dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan, menurut Baudrillard, masyartakat konsumen tidak lagi digerakkan oleh kebutuhan dan tuntutan konsumen, melainkan oleh kapasitas produksi yang sangat besar. Sehingga maslah-masalah yang timbul dalam sistem masyarakat konsumen tersebut tidak lagi berkaitan dengan produksi melainkan dengan kontradiksi antara level produktifitas yang lebih tinggi dengan kebutuhan untuk mengatur—baca: mendistribusikan—produk. Oleh karena itu, kunci vital dalamsistem sekarang adalah mengontrol mekanisme produksi sekaligus permintaan konsumen sebagai bagian dari sosialisasi yang terencanamelaluikode-kode
In planned cycle of costumer demand, the new strategic forces, the new structural elements—needs, knowledge, culture, information, sexuality—have all their explosive force defused. In opposition to the competitive system, the monopolistic system institutes consumption as control, as the abolition of the contingency of demand, as planed socialization by code..
Needs lose their autonomy; they are coded. Consumptionno longer has a value of enjoyment; it is placed under the constraint of theabsolutefinality which is that of production.
Production, on the contrary, is no lonegr assigned any finality other than itself. This total reduction of the process to a signle one of it terms.. designates more than an evolution of the capitalist mode: it is a mutation.
Bagi Baudrillard, yang menandai transisi konsumsi tradisional menjadi konsumerisme adalah pengorganisasian konsumsi ke dalam suatu sistem tanda.

Traditional symbolic goods (tools, furniture, the house itself) were the mediatorsof the real relationshipor a directly experienced situation, and their subject and form bore the clear imprint of theconscious or unconscious dynamic of that relationship. They thus were not arbitrary.
.. from the time immemorial people have bought, possesed, enjoyed and spent, but his does not mean that they were consuming. … It is… the organizationof all these things into a signifying fabric : consumption is the virtual totality of allobjects and messages ready constitued as a more or less coherent discourse.. ..to become an object of consumption an object must be a sign.
That is to say: it must become external,in a sense, object to the systematic statusof asign implies the simultaneous transformation of the human relationship of consumption….all desires, projects, and demands, all passions and relationships, are now abstracted (or naterialized) as signs and as objects to be bought and consumed.

Masyarakat sekarang semakin tidak mengidentifikasi diri mereka mengikuti pola-pola pengelompokan tradisional, namun cenderung mengikuti produk-produk konsumsi, pesan dan makna yang tersampaikan. Oleh karena itu, konsumsi dilihat sebagai upaya pernyataan diri, suatu cara untuk bertindak dalam dunia ini, cara pengekspresian identitas seseorang. Konsumsi didorong oleh hasrat untuk menjadi sama dan sekaligus berbeda, menjadi serupa dengan.. dan berbeda dari.

Konsumerisme Sebagai Suatu Trend
            Seringkali bangsa ini mengklaim diri sendiri sebagai bangsa yang berbudaya, otomatis kita pun harus mempunyai sikap budaya. Sedangkan sikap budaya itu sendiri terdiri dari tiga pokok berupa sistem gagasan, sistem perilaku yang dikondisikan oleh gagasan, serta sistem yang secara lahiriah dihasilkan dari perpaduan kedua sistem itu. Kenyataan-kenyataan yang ada secara lahiriah menciptakan keadaan-keadaan yang mempengaruhi sifat dan ide atau gagasan manusia yang kemudian membentuk sistem perilaku manusia itu.
            Dengan kata lain, perilaku manusia dipengaruhi oleh perilaku manusia itu sendiri yang dilakukan berulang-ulang. Maka dapat disimpulkan, kebudayaan adalah suatu jentera  yang berputar terus-menerus yang menggabungkan tiga pokok yaitu kenyataan lahiriah, ide dan perilaku manusia. Dalam pengertian demikian itu, sistem gagasan bukanlah pangkal tolak dari kebudayaan, tetapi lebih kepada kenyataan lahiriah dimana perilaku kita dalam keseharian adalah cerminan budaya kita sendiri. Apabila kebiasaan-kebiasaan itu kita lakukan semisal cara makan, berpakaian, dan lain-lain adalah kenyataan lahiriah maka dapat dikatakan contoh tersebut adalah bagian dari kebudayaan.
            Apabila kita kembalikan pada persoalan gaya hidup yang konsumtif, adalah suatu trend  yang   dibudayakan atau disebarluaskan (lebih tepatnya dipropagandakan). Bukannya suatu sistem gagasan, perilaku dan kenyataan masyarakat yang sangat heterogen namun suatu infasi kebudayaan asing yang  “dipaksakan” menjadi suatu budaya homogen. Kondisi ini menurut Slavoj Zizek akan membentuk pola pikir libidius dalam hal material, akibatnya kita hidup dalam “budaya seolah-olah” dalam artian kita selalu mendapatkan lebih dari segala yang kita bayarkan tapi kita bingung untuk keperluan apa itu sebenarnya.[6] Dengan demikian manusia konsumerisme hidup dalam kebebasan yang nihilistik dimana kebebasan subjek dalam memilih sudah terpropaganda oleh gaya hidup yang konsumtif. Manusia menggunakan kebebasan memilihnya bukan lagi karena kemauan lahiriahnya akan kebutuhan barang tersebut, melainkan untuk kebutuhan yang sebenarnya tidak dibutuhkan (tidak didasarkan pada pertimbangan nilai guna) akibat konsumerisme.
            Betapa ini telah menjadi sebuah budaya baru yang kehadirannya tanpa disadari oleh semua orang tetapi dampaknya begitu besar. Kita dapat melihat bagaimana peran media massa dalam mempropaganda dengan sangat massif produk-produk impor. Sehingga membentuk pola kehidupan masyarakat luas dan mengarah menjadi “masyarakat konsumtif”.
              Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang diuntungkan dalam kondisi seperti ini? Adalah para penguasa ekonomi dan politik melalui kepentingan pelipatgandaan modal yang merugikan masyarakat luas. Akibatnya pembangunan pun terhambat akibat kepentingan segelintir kaum kapital itu dalam memperbesar modalnya serta propaganda dalam masyarakat mengenai konsumerisme itu memperlambat laju semangat dalam mendirikan usaha untuk menjadi produsen demi mewujudkan masyarakat yang mandiri.
            Perilaku para pemimpin global ini secara ringkas bisa dilihat dari beberapa amatan, pertama; terus meningkatnya kekuasaan pasar dan semakin merosotnya kekuasaan peran negara. Negara dan bisnis memang berurusan dengan publik tetapi perbedaannya terletak pada pertanggung jawabannya dimana negara langsung kepada rakyat, sedangkan bisnis kepada pribadi. Kedua; seiring dengan lembaga negara yang berubah menjadi pasar, sifat warga negara berubah dari satuan komunitas masyarakat menjadi komunitas konsumen. Misalnya komunitas penggemar motor Harley Davidson, dll. Ketiga; salah satu cirri bisnis global adalah arus modal yang terus berpindah melintasi batas-batas negara. Yang berkembang kemudian adalah pasar-pasar modal, sistem ekonomi uang dan pertukaran abstrak yang merontokkan kegiatan-kegiatan ekonomi padat kerja, contohnya pedagang kaki lima. Keempat; para pemain utama dalam corak perekonomian demikian itu tentu saja adalah para pemodal besar, bekan para petani di desa-desa atau kaum buruh industry. Kenyataan ini bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi dan menghambat pemerataan kemakmuran.
            Kelima; dampak bisnis global adalah konsumtifisme global. Gaya hidup yang digembar-gemborkan melalui media massa dengan cara memanipulasi hasrat individu terhadap prestise, status dan sensualitas. Karena hasrat tidak memiliki batas, maka konsumsi yang didasarkan pada hasrat juga berkembang tanpa batas, meniggalkan pola konsumsi berdasarkan pertimbangan nilai guna. Keenam; bersama segala perkembangan demikian itu, berlangsunglah proses ekonomisasi kebudayaan dimana seluruh gerak dan perubahan kebudayaan berlangsung berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi yang hanya mengejar laba.

Konsumerisme Sebagai Sebuah Gejala
            Sulit dipungkiri bahwa dari hari ke hari semakin sempit ruang dan kesadaran kita yang tidak bisa dijangkau oleh media dan  budaya massa. Kita bisa menjadi mahasiswa radikal, dosen yang kritis, petani, buruh atau apa saja tapi kita tidak bisa hidup dalam ruang yang sepenuhnya bebas dari infiltrasi media dan budaya massa.
Selama kita masih membaca surat kabar, majalah, selebaran, nonton TV, mendengarkan radio, menjelajah situs internet, selama itu juga anda berinteraksi dengan media. Dan secara tak langsung pemikiran, tingkah laku atau gaya hidup terbentuk oleh media tadi. Ketika kita suka nonton TVc mengenai berita tentang program ilmu pengetahuan, bencana alam tetapi di sela-sela berita tadi pasti kita melihat iklan perusahaan transnasional mengenai fashion, elektronik, fastfood yang tak mungkin bisa dihindari. Itu artinya   manusia di bumi ini mustahil menepiskan subversi budaya massa yang membanjiri setiap detik dari seluruh dunia.
Timbulnya konsumerisme sangat erat berhubungan dengan maraknya budaya massa. Sedangkan praktek-praktek budaya massa ditimbulkan oleh adanya arus globalisasi. Disini masyarakat yang mempunyai cirri khas budaya masing-masing (heterogen) menjadi disamakan dalam segala hal. Ketika masyarakat disamakan dalam setiap segi kehidupan terutama dalam rasa (taste) semisal seorang akan dikatakan cantik apabila bertubuh ramping sehingga yang bertubuh gemuk tidak termasuk dalam kategori cantik.
Dampak yang sangat dirasakan adalah hilangnya daya atau kemampuan cipta, rasa dan karsa  masyarakat suatu bangsa. Pertama, daya kreatif atau daya cipta yang menjadi tak berarti karena setiap hari kita disuguhi produk-produk siap pakai. Kedua, rasa. Ketika kita disamakan dalam segala hal maka apabila kita mencoba keluar dari rasa tadi akibatnya kita dianggap tidak layak lagi. Ketiga,  karsa. Kemampuan yang merupakan bagian penting dalam diri manusia menjadi tak berguna karena digantikan oleh kekuatan hegemoni global.
Bagi negeri yang sedang berkembang seperti Indonesia ini yang masih disibukkan oleh masalah pelik seperti kekurangan pangan, bencana alam, pendidikan rendah, serta yang tak kalah populernya yakni masalah korupsi yang sampai saat ini masih banyak di Indonesia, jelas saja masalah seperti budaya massa ini sangat tidak tersentuh. Yang terjadi adalah hilangnya kebudayaan nasional yang tergantikan oleh budaya impor yang masuk  lewat media massa yang membawa kepentingan para pemodal di balik itu semua. Memang sangat ironi tapi kenyataan itu memang telah menggejala pada kalangan masyarakat belakangan ini.

            Kesimpulan secara umum adalah kegiatan konsumerisme ini tidak lagi didasarkan pada apa nilai guna dari barang itu bagi kita atau exchange value, tetapi telah berubah menjadi symbolic value atau nilai-nilai simbolik yang tercipta dalam dunia sosial dibalik barang yang dibeli. Hasilnya masyarakat konsumerisme terkonstruksi melalui propaganda iklan mengenai suatu barang sehingga masyarakat tidak lagi merdeka dalam pikirannya diri sendiri. Jika pemikiran yang terkonstruksi maka berapa pun harganya akan dibayar tanpa memperdulikan nilai gunanya.  
Oleh karena pemikirannya yang telah diisi oleh konsumerisme, maka hal yang paling berdampak adalah struggle for shopping atau melakukan segala upaya semisal bekerja keras untuk satu tujuan yakni kegiatan konsumsi yang hakikatnya hanya untuk kepuasan, bukan untuk pemenuhan kebutuhan yang sebenarnya. Dan kemudian masyarakat hanya berkeinginan menjadi konsumen saja, tidak ada keinginan untuk mandiri dengan mendirikan usaha sendiri atau menjadi produsen juga. Akhirnya pembangunan suatu negara pun menurun akibat perilaku masyarakat yang seperti ini.


* Adalah mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Jember
   NIM 100910101074
[1] Amir Piliang, Yasraf. Dunia yang Dilipat.180
[2] Peter N. Stearns. Consumerism in World History : the global Transformation of Desire. 2003. New York: Routledge Hal: ix
[4] Baudrillard, Jean P.. Consumer Society. (edisi terjemahan Indonesia). 2004. Yogayakarta: Kreasi Wacana.hal 14
[5] Introduction to critical theory
[6] Robet,. Robertus, Manusia Politik: Subjek Radikal dan Politik Emansipas,. Tangerang: Margin Kiri, 2010. Hal 35



DAFTAR PUSTAKA

Amir Piliang, Yasraf. Dia yang dilipat : Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. 2004.
 Bandung ; Jalasutra

Stearns, Peter N. Consumerism in World History: The Global Transformation of Desire.
2003. New York; Routledge

Baudrillard, Jean P. diterjemahkan oleh Wahyunto. Masyarakat Konsumsi. 2004. Yogyakarta:
Kreasi Wacana

Feathersone, Mike. Consumer Culture and Posmodernism. 1992.  London : Sage Publications

Robet,. Robertus, Manusia Politik: Subjek Radikal dan Politik Emansipasi. 2010. Tangerang: Margin Kiri

http://www.ubishops.ca/baudrillardstudies/vol2_2/norris.htm


Penulis : Gunturism ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Konsumerisme, Budaya atau Gejala? ini dipublish oleh Gunturism pada hari . Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Konsumerisme, Budaya atau Gejala?
 

0 comments: